"Lihat rembulan itu, indah sekali bukan? Aku suka malam" bisikmu malam itu.
Aku hanya mengangguk tak berkomentar, aku sadar kutelah berdusta pada hatiku yang tak begitu menyukai malam. Namun, padamu apapun yang kau sukai maka itu pun akan aku sukai. Karena itulah menurutku cinta, aku tak akan membuatmu terluka disebabkan sedikit saja ego yang aku punya.
Er, itulah waktu kita bersama memandang malam di langit itu. Kita duduk bersebelahan di tepi Danau Toba. Er, menemanimu saja aku gembira, cukup itu saja. Aku tak akan minta apa-apa. Aku hanya ingin kau bahagia, cukup bagiku waktu itu. Kau pun tampak bahagia bersamaku, sungguh rasa bahagia ini terlampau sangat, Er. Semoga perkiraanku ini benar.
Setelah merasa puas memandang langit malam di tepi Danau itu, selalu saja kau mengajakku melewati jalan-jalan pinggir sawah yang becek itu. Aku tahu kau sangat menyukai itu, ya paling tidak aku harus paham daerah dan suasana seperti itu tidak ada di kota.
Apalagi suasana malam berhias rembulan yang terang benderang yang menurutmu indah itu. Aku yakin kau tak akan mampu melihatnya sempurna rembulan ketika di kota, kau hanya bisa melihatnya ketika di desa saja. Di tepi danau tempat biasa, memandang malam yang kau sukai itu.
Er, jujur saja, saat pertama kali bertemu denganmu aku merasa ada yang lebih dengan pertemuan kita ini. Jika aku meraba hati ini, sepertinya aku telah jatuh hati padamu. Ya, sejak pertama kali ketemu waktu itu.
Saat kau baru turun dari mobilmu, dan menoleh padaku yang saat itu sedang melintas dari depan rumahmu, pulang dari menggembala kerbau. Kau tersenyum padaku, dan akupun membalas senyummu. Sejak itu pula aku punya tetangga perempuan yang dekat dengan rumahku.
Ternyata tak hanya dekat rumah saja, kau pun adalah perempuan yang mempunyai kedekatan emosional denganku nomor dua setelah ibuku. Itu terjadi saat kau ternyata menjadi murid baru di sekolahku waktu itu. Ternyata satu kelasku, kelas 3 SMA. Ketika kau melihatku juga satu sekolah denganmu, tepatnya ketika jam istirahat di depan kantin kecil-kecilan pak Togap. Aku tak menyangka kau akan berani mendekatiku dan menyodorkan tangan kananmu berniat bersalaman denganku.
Dengan sedikit gugup dan sesegera mungkin menghilangkannya, lalu aku balas sodoran tangan kananmu itu dengan menyodorkan juga tangan kananku. Saling bersalamanlah kita, dan kau menyebut namamu,
"Erna Saulina," katamu.
Dan aku pun membalas "Briando," jawabku.
Dan sejak itu pula kau lebih sering menghabiskan waktu istirahat denganku. Aku masih tak paham, apa alasanmu bersikap begitu.
Aku tak mau berpikiran yang aneh dan terlalu jauh. Toh, aku adalah anak desa yang cukup seadanya, sedangkan kau adalah anak kota yang serba berlebihan. Oleh karena itulah aku tak berani banyak berpikir tentang hubungan kita. Bahkan tidak kuanggap kau di level yang serius.
Aku tak mau berpikiran yang aneh dan terlalu jauh. Toh, aku adalah anak desa yang cukup seadanya, sedangkan kau adalah anak kota yang serba berlebihan. Oleh karena itulah aku tak berani banyak berpikir tentang hubungan kita. Bahkan tidak kuanggap kau di level yang serius.
Kedekatanmu denganku yang tiba-tiba itu telah banyak membuatku tahu tentang dirimu dan keluargamu. Kau bercerita tentang bapakmu yang berprofesi sebagai Polisi. Dan kau pun bercerita tentang bapakmu yang dipindahtugaskan menjadi Kapolres di kabupaten ini.
Selama bersamamu memandang malam di langit itu. Kau memang yang banyak bercerita Er. Aku hanya pendengar setia. Aku hanya berkomentar sedikit saja, aku hanya ingin membuatmu paling tidak senyum saja sudah cukup.
Selama bersamamu memandang malam di langit itu. Kau memang yang banyak bercerita Er. Aku hanya pendengar setia. Aku hanya berkomentar sedikit saja, aku hanya ingin membuatmu paling tidak senyum saja sudah cukup.
***
Waktu terus berjalan, kini kita sudah lulus SMA dan tak terasa sudah enam bulan kita selalu menghabiskan malam di tepi danau ini. Tapi hingga detik ini hubungan kita tidak jelas bentuknya. Gelap!
Tiada yang tahu mau ke mana hubungan kita hendak dibawa. Aku tak mampu menerawang isi hati Erna, apakah dia cinta padaku seperti aku mencintainya? Banyak keraguan yang membuatku mengurungkan niat untuk menembak Erna, nyatakan perasaan. Mungkin karena perbedaan-perbedaan yang ada diantara kami, menjadi alasannya. Aku pun hanya bisa memendam perasaan ini.
Tiada yang tahu mau ke mana hubungan kita hendak dibawa. Aku tak mampu menerawang isi hati Erna, apakah dia cinta padaku seperti aku mencintainya? Banyak keraguan yang membuatku mengurungkan niat untuk menembak Erna, nyatakan perasaan. Mungkin karena perbedaan-perbedaan yang ada diantara kami, menjadi alasannya. Aku pun hanya bisa memendam perasaan ini.
Hingga suatu malam kau pun bercerita bahwa kau telah lama jatuh cinta kepada seseorang.
"Kau pernah suka pada seseorang Yan?" tanyamu.
"Hmm, belum" jawabku sekenanya.
"Bener nih?" tanyamu lagi dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya.
"Ya, aku belum pernah suka sama perempuan selama ini Er," jawabku lagi.
Aku sadar kutelah berdusta pada hatiku yang saat ini sedang berbunga-bunga.
"Hmm, boleh aku cerita Yan?" tanyamu dengan suara yang lebih rendah.
"Ya, boleh aja Er, cerita sajalah gak perlu sungkan-sungkan, kayak kita baru kenal saja."
"Aku lagi suka sama seseorang dan sudah lama menyukainya, tapi aku gak paham kenapa aku suka ke dia padahal aku belum tahu apakah dia juga suka ke aku apa nggak?".
" Sampai detik ini pun aku gak tahu apa yang dia mau dan dia fikirkan. Padahal aku menunggu dia mengutarakan perasaannya kepadaku," lanjutmu lagi.
Mendengar ceritamu itu, hatiku serasa teriris-iris menjadi beberapa bagian yang tak utuh. Betapa hancurnya hatiku Er, ternyata kau telah jatuh hati kepada orang lain. Seandainya kau mengerti bahwa jantung ini berdetak lebih cepat dari yang seharusnya ketika bersamamu. Bahkan walau hanya suara lembutmu yang terdengar.
Seandainya kau mengerti bahwa pagi ketika mata terbuka hanya ada kau di senyumku, seandainya kau tahu malam ketika mata tertutup ada harapan indah bersamamu. Seandainya kau tahu bahwa kau yang memberikan senyum padaku.
Walau hati ini sangat perih, kucoba mencari tahu siapa gerangan lelaki yang kau sukai itu.
"Wah, beruntung bangat ya lelaki itu, siapakah gerangan dia?," tanyaku sembari menyembunyikan kesedihan.
"Sudah enam bulan lelaki itu mengisi hari-hariku dan lelaki itu ada bersamaku malam ini," jawabmu.
Mendengar itu, hatiku yang tadinya sedih berubah menjadi bahagia.
"Aku kah lelaki itu?" tanyaku memastikan.
"Ya, Kamu Yan, Apakah kamu tidak menyukaiku, sehingga membiarkanku menunggu begitu lama?"
Aku begitu gembira mendengar ucapanmu, aku pun langsung memelukmu erat dan mengatakan "Aku minta maaf, Er. Aku nggak pernah sadar kita saling mencintai selama ini. Aku sayang sama kamu, Er".
Malam itu kita menghabiskan malam hingga menjelang pagi bersama. Kita larut dalam cinta yang sedang mekar di hati. Berkali-kali kukecup keningmu, ku pegang erat tanganmu, seakan tak rela malam ini cepat berlalu.
"Esok pagi aku akan berangkat ke Jakarta, Yan. Melanjutkan sekolahku ke jenjang perguruan tinggi," bisikmu di malam yang telah bergantung di ujung pagi.
Kau tentu masih ingat katamu terakhir waktu itu Er, "Suatu malam nanti aku akan menemuimu di tepi danau ini Yan, tunggu saja kehadiranku!"
Maka aku harus memaksa sepanjang hari begini, menemani senja dan menunggu malam. Sudah tak terhitung berapa malam telah berlalu, namun aku setia menunggumu disini. Sampai diriku saja lupa aku rawat, kini mata hitamku sayu dan tubuhku kurus ringkih. Biarlah, bagiku menunggumu itu nomor satu, entah itu kapan aku akan tetap menanti.
Penulis adalah pemimpin redaksi majalah Persma Veritas Unika.
Cerpen ini pernah diterbitkan di Harian Medan Bisnis, Minggu, 29 Juni 2014.
Penulis adalah pemimpin redaksi majalah Persma Veritas Unika.
Cerpen ini pernah diterbitkan di Harian Medan Bisnis, Minggu, 29 Juni 2014.