Dengan menulis sejarah akan dicatat dan peradaban akan dibangun
Sebuah tulisan lahir dari pergulatan penulis dengan begitu banyak bahan bacaan. Terinspirasi dari diskusi bermartabat. Termotivasi karena memang segala sesuatu dimungkinkan untuk berubah.
Oleh: Suriono Brandoi Siringoringo, SE
Hari ini, merupakan hari istimewa bagi para blogger. Karena tepat tanggal 27 Oktober 2018 diperingati sebagai hari Blogger Nasional. Berbicara terkait blogger, tidak bisa dilepaskan dari dunia tulis menulis.
Dimana menulis sendiri adalah pekerjaan mengolah kata-kata. Saat kita memutuskan untuk menjadi penulis, atau katakanlah hanya sekadar menulis saja, maka kewajiban kita berikutnya adalah terus-menerus secara aktif mempelajari kata-kata.
Mempelajari kata-kata akan menghantar kita ke penguasaan kosa kata yang lebih banyak lagi. Apa boleh buat, tulisan yang bagus sama artinya dengan menemukan kata yang tepat.
Tulisan itu lahir dari pergulatan penulis dengan begitu banyak bahan bacaan. Terinspirasi dari diskusi bermartabat. Termotivasi karena memang segala sesuatu dimungkinkan untuk berubah.
Sehingga saya selalu beranggapan mereka yang sudah berani menulis, terlebih mengirimkannya ke media massa dan dimuat, juga mereka yang sudah mampu menerbitkan buku adalah kaum cerdik pandai.
Semasa kuliah dulu, saya pernah mengajak beberapa kawan di kampus untuk gemar dengan dunia tulis menulis. Tapi sayangnya kebanyakan kawan-kawan mahasiswa itu menyatakan aku tak bakat menulis.
'Menulis itu sulit dan membutuhkan bakat.' Begitu kira-kira jawaban mereka. Jika kebanyakan mahasiswa sekarang menyatakan menulis itu sulit, sesungguhnya ini sebuah ironi.
Kenapa menulis terasa sangat susah di mata mahasiswa? Begitu susahnyakah sehingga jarak antara pikiran dengan tangan terasa sejauh ribuan kilometer?
Saya tidak punya jawaban pasti. Yang pasti bukankah mahasiswa memiliki ilmu, gagasan, pemikiran, aspirasi, dan pengalaman yang bisa membantu untuk dituliskan? Yang barang tentu, apa yang dituliskan mahasiswa bermakna bagi dunia pendidikan dan masyarakat.
Sangat disayangkan memang saat kita memalingkan pandang ke lingkungan akademik, sesungguhnya masyarakat kampus sekarang belumlah kaum yang melek menulis dan melek membaca.
Kita belum terbiasa duduk berlama-lama membaca, terlebih menulis. Dan kita lebih memilih menari-narikan jemari di atas tombol telepon genggam dari pada menari-narikan jemari di atas tombol laptop atau computer kita.
Kebanyakan masyarakat kampus membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepak bola.
Membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca sub-title opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekadar hiburan. Dan satu lagi, membaca status di facebook.
Acapkali masyarakat kampus melakoni tulis-menulis semata-mata demi tugas kuliah saja.
Berbicara tentang kemampuan menulis seseorang itu dalam menulis, sesungguhnya tidak bersangkut paut dengan bakat. Tidak pula terkait dengan usia. Semua orang bisa menulis.
Mahasiswa bisa menulis artikel ilmiah populer di blog, surat kabar, artikel ilmiah untuk jurnal, buku, dan lain sebagainya serta ruang-ruang bagi mahasiswa menuangkan ide, gagasan lewat tulisan tak terbatas.
Terlebih dengan perkembangan teknologi yang semakin menggila. Dengan kehadiran banyaknya media-media sekarang ini, sangat efektif dan memberi peluang besar bagi mahasiswa untuk menyalurkan hasrat menulisnya.
Kenapa mahasiswa mesti menulis?
Kita adalah mahasiswa yang sering dijuluki kaum-kaum intelektual muda. Kita punya ilmu, gagasan, pemikiran, aspirasi, dan pengalaman tidak ada salahnya kita menuangkannya dalam tulisan.
Mestinya kita tidak hanya melakukan kritikan dengan turun ke jalan yang nyata-nyatanya malah menggangu dan merugikan masyarakat. Parahnya malah membuat kerusuhan.
Di kampus telah diajarkan tentang beragam keilmuan yang didalami, dididik mulai usia dini hingga beranjak dewasa. Seharusnya dengan bekal tersebut mahasiswa berperang pemikiran atas beragam hal, beragam isu, beragam masalah di negeri ini, dengan memberikan solusi, tidak hanya kritikan.
Jika tidak mampu berbicara langsung kepada penguasa, lewat tulisan mungkin tersampaikan. Bekal idealisme yang masih berkobar, kenapa hanya disimpan saja.
Bagaimana pun mahasiswa sebagai kaum intelektual muda harus mampu membiasakan menulis, mahasiswa harus mampu memberdayakan otak kreatifnya.
Sudah bukan masanya lagi mahasiswa dikatakan sebagai konsumen tulisan, dan plagiarisme. Sekarang saatnya proses menuju sarjana penulis itu dimulai.
Mahasiswa kini harus menjadi produsen tulisan dengan menjadikan menulis sebagai tradisi. Karena tak ada yang sia-sia dalam menulis.
Dengan menulis sejarah akan dicatat, dengan menulis peradaban akan dibangun dan dengan menulis pula masa depan akan lebih berwarna.
Selamat Hari Blogger Nasional, 27 Oktober 2018.
SUARA TOBA.