Oleh: Suriono Brandoi Siringoringo
“Lihat rembulan itu, indah sekali bukan? Aku suka malam” bisikmu malam itu. Aku hanya mengangguk tak berkomentar, aku sadar kutelah berdusta pada hatiku yang tak begitu menyukai malam. Namun, padamu apapun yang kau sukai maka itu pun akan aku sukai. Karena itulah menurutku cinta, aku tak akan membuatmu terluka disebabkan sedikit saja ego yang aku punya.
Cy, itulah waktu kita bersama memandang malam di langit itu. Kita duduk bersebelahan di teras rumahmu. Cy, menemanimu saja aku gembira, cukup itu saja. Aku tak akan minta apa-apa. Aku hanya ingin kamu bahagia, cukup bagiku waktu itu. Kamu pun tampak bahagia bersamaku, sungguh rasa bahagia ini terlampau sangat, Cy. Semoga perkiraanku ini benar.
Setelah merasa puas memandang langit malam itu, selalu saja kamu khawatir bagaimana aku nanti pulang. Aku paham betul perasaanmu saat aku pulang tengah malam dari rumahmu menempuh jarak yang terbilang jauh ke rumahku.
Cy, jujur saja, saat pertama kali bertemu denganmu aku merasa ada yang lebih dengan pertemuan kita ini. Jika aku meraba hati ini, sepertinya aku telah jatuh hati padamu. Ya, sejak pertama kali ketemu waktu itu. Saat kamu berbincang-bincang dengan temanku, dan menoleh padaku yang saat itu sedang melintas dari depan rumah temanku itu. Aku mampir, dan kamu hanya tersenyum padaku waktu itu lalu kamu pamit sama temanku itu, karena mungkin masih banyak kerjaan yang mesti kau selesaikan di kantor.
Sejak itu, aku penasaran dan mencari tahu tentangmu. Ternyata tak sesulit yang ku bayangkan. Seiring waktu berjalan, kamu pun menjadi perempuan yang mempunyai kedekatan emosional denganku nomor dua setelah ibuku. Itu terjadi kala di suatu waktu kita bertemu kembali walau tidak saling tegur sapa. Namun waktu itu, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan membidik lensa kameraku dengan fokus utama kamu. Ku kirimkan hasil jepretanku kepadamu lewat inbox facebook. Dan kamu terkejut, tak menyangka kalau aku kala itu memotretmu dari kejauhan.
Kita pun semakin sering komunikasi dan bertemu. Bila waktu senggang terluang, Aku dan kamu bertemu untuk melepas waktu. Tak ada tempat yang lebih menyenangkan selain bertemu denganmu. Kedekatanku denganmu telah banyak membuatku tahu tentang dirimu dan keluargamu. Dan sebaliknya, kamu telah banyak tahu tentangku, keluargaku dan kehidupanku.
***
Waktu terus berjalan, tak terasa sudah hampir menginjak tiga bulan selalu menghabiskan malam saling telponan, bbman, dan berjumpa. Tapi hubungan itu tidak jelas bentuknya. Gelap! Tiada yang tahu mau ke mana hubungan kita hendak dibawa.
Hingga suatu malam untuk pertama kalinya kamu kecewa karena aku berbohong, tidak jujur kepadamu tentang sesuatu hal. Imbasnya, tiba-tiba saja muncul idemu untuk puasa komunikasi selama 14 hari. Tidak telponan, apalagi bertemu. Mendengar ide itu, hatiku serasa teriris-iris menjadi beberapa bagian yang tak utuh. Betapa hancurnya hatiku. Ternyata dia ingin menjauh. Bagiku, tanpa komunikasi 14 hari sama saja merengangkan kedekatan yang telah terjalin selama ini.
Aku benar-benar bingung. "Seandainya kamu mengerti, Cy, bahwa jantung ini berdetak lebih cepat dari yang seharusnya ketika bersamamu. Bahkan walau hanya suara lembutmu yang terdengar. Seandainya kamu mengerti bahwa pagi ketika mata terbuka hanya ada kamu di senyumku, seandainya kamu tahu malam ketika mata tertutup ada harapan indah bersamamu. Seandainya kau tahu bahwa kau yang memberikan senyum padaku," gumamku dalam hati.
Walau hati ini sangat perih, kucoba menerima dan menyetujui keputusanmu. Hari pertama pun terlewati dengan menyembunyikan kesedihan kepadamu. Malam hari di hari kedua, tiba-tiba saja kamu mengirimkan pesan gambar ke bbmku, hasil screen shoot percakapanku dengan saudara perempuanmu yang menanyai kabarmu. Aku terkejut dan diliputi kecemasan. Terlintas di benakku bahwa kamu sedang marah besar karena pesanku itu. Belum hilang rasa terkejutku, kamu meneleponku agar membaca pesan yang kamu kirimkan ke bbmku.
Dengan menyembunyikan rasa cemas, aku balas pesanmu. Ternyata dugaanku salah. Kamu terharu dengan semuanya. Dan malam itu, aku utarakan niat tulusku untuk mencintaimu sepenuh hati. Tanpa berbasa-basi, kamu bersedia menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih denganku. Aku nggak pernah sadar kita saling mencintai selama ini.
Sejak malam itu, kamu menjadi gadisku dan aku lelakimu. Bila saja malam itu kamu ada di dekatku, aku ingin menghabiskan malam hingga menjelang pagi bersamamu. Larut dalam cinta yang sedang mekar di hati. Ingin ku kecup keningmu, ku pegang erat tanganmu, seakan tak rela malam ini cepat berlalu.
Ingin ku tuliskan seribu bait puisi, yang mengisahkan segala tentangmu. Tentang matamu yang menciptakan pelangi dengan tujuh warna keabadian. Tentang bibirmu yang menghadirkan kelopak mawar dengan keharuman peneduh batin. Hingga tentang shalawat daun dengan rerimbun doa-doa. Pada pepohon firman kasih-Nya; atas nama kita!
Namun aku mesti bersabar untuk saat ini. Waktu masih panjang untuk mewujudkan itu semua. Karena dalam yakinku; engkau adalah kehidupanku, dan kamu adalah cinta sejatimu. Maka biarlah Tuhan yang menentukan takdir jodohmu pun aku!
(Cerpen untuk mantan pacarku semasa pacaran dulu yang kini menjadi istri sekaligus ibu dari anakku).