Senja awal Desember memerah di kaki Gunung Pusuk Buhit. Langit menyirami kota kecil, Pangururan tak habis-habisnya.
Awan tak bermendung. Tak ada gerimis. Terik menyengat ala pulau ditengah Danau Toba ini tak usai, walau sementara mentari perlahan berlari ufuk timur.
Ribuan orang berjubel di bibir pantai pasir putih. Lumut-lumut menyaksikan tarian lekukan berbikinan pakaian pantai. Pasir-pasir tersepak berterbangan oleh tarian kaki-kaki legam dalam irama musik lagu Batak.
Kau ada di antara mereka. Kau, berbikinan setengah. Menari di sepanjang pasir, diiringi musik. Berkejaran bersama teman-teman wanitamu.
Kau menjatuhkan tubuhmu yang sedikit seksi ke setiap pelukan mereka. Sesekali kau berguling di antara butiran pasir. Itu selama tiga puluh menit dua belas detik yang lalu sejak kehadiranku.
Senja hampir selesai. Matahari serupa bola merah yang menggelinding ke balik bukit. Meninggalkan jejak jingga pada lengkung langit barat.
Langit merah jingga di balik awan tipis pada bukit, memanggil-manggil malam. Dalam warna jingga senja, udara sepoi berhembus, menampar tubuh munggilmu yang berbalut bikinan nan tipis.
Kau putuskan pergi menghilang dibalik horizon detik antara pasir putih dengan cakrawala. Sementara aku masih berdiri di tepi danau memenuhi pikiranku tentangmu.
Tentang gadis yang mempesonaku. Walau aku hanya dapat melihat matanya, namun kutemukan sebentuk keanggunan yang sukar kubahasakan dengan kata-kata.
Mata yang kecoklatan, seperti memantik kekaguman dalam hatiku. Sungguh, gadis ini telah membuatku jatuh cinta. Ingin rasanya kukatakan padanya betapa rasa kagum telah memenuhi rongga dadaku, namun bagaimana mungkin aku mengatakannya? Mengenalnya saja aku belum.
Bersebab terlalu besar dorongan hasratku untuk melabuhkan debar rasa yang terkanvas dalam jiwaku, maka aku pun mencari tahu perihalnya.
Perjuanganku tak sia-sia, lewat adikku yang kebetulan gadis itu adalah gurunya di SMP 1 Pangururan, aku mengetahui namanya. Mian Zhuu Simbolon, begitulah nama gadis itu di akun Facebooknya.
Mian, nama yang kemudian langsung memenuhi setiap inci hatiku. Rasanya tak ada nama yang seindah namanya. Apakah ini yang disebut jatuh cinta?
Entahlah, aku juga tak tahu. Namun aku menikmati rasa ini, menikmati gejolak yang bergemuruh dalam dadaku. Dalam tatap mataku, segala lekuk tubuhnya adalah pahatan terindah dari jemari Tuhan.
Sungguh, engkau adalah keajaiban. Sukar kutakar segala sabar untuk menaifkan seranum rindu yang tiba-tiba menggantung dalam tangkai jiwaku. Adakah aku mencintaimu?
****
Suatu pagi, saat mengantar adikku ke sekolah, aku melihat gadis itu di gerbang sekolah. Aku mengumbar senyum bercampur aroma pagi menjadi satu.
Aku melihat garis-garis kecantikannya yang terlipat dalam kharisma kewanitaannya. Aku bisa melihat semua yang hendak disembunyikan pada mataku.
Bilur jejak gundah di tubuhnya, tentang honor yang tak seberapa dibanding pengabdian mendidik anak-anak didiknya yang memiliki segudang masalah yang harus dididik menjadi generasi penerus bangsa.
Sebagai guru honorer, gaji yang diterimanya memang hampir tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Walau begitu, sungguh tak ada yang terlihat akan kegundahan itu.
Itulah sebabnya aku menyukainya sejak pertama.
"Kau seperti dianugerahi kecantikan terindah pada jiwa, ditengah kegetiran warna hidupmu," gumamku pada sukma ini!
Dia sebenarnya tak terlalu suka bicara. Berbicara seadanya, to the point. Namun ia memang periang. Kebanyakan humor dalam percakapan.
Sikapnya yang periang itulah membuatku jadi bisa sering mengajaknya bercakap-cakap via sosial media maupun mengajaknya jalan.
Suatu senja aku pernah mengajaknya menikmati senja di tepi Danau Toba. Kami bercengkerama sekedar melepas lelah dan penat. Selain bercengkerama, terkadang kami sering larut dalam perasaan satu sama lain.
Ada tawa dan ada air mata. Ada amarah dan ada sayang. Ada silensiu dan ada cinta. Ada benci dan pula ada rindu.
Berhadapan kecantikannya, aku juga harus jujur terhadap diriku sendiri bahwa dalam canda ini, sekian sering aku merasa tertutup oleh rasa cemas dan gugup karena rasa minder.
Semua rasa itu pudar suatu ketika di pertengahan Desember, saat ia ceritakan tentang selera cintanya pada sukmaku, hingga aku tak segan-segan melempar pujian bertubi-tubi dan mengungkapkan rasa rindu gilaku yang sekian lama terbungkus rapi padanya.
Dan kami sama-sama menertawakan kisah gila ini dengan nada bahagia.
Mungkin dia masih ingat, apa yang pernah kukatakannya dengan nada canda-gurau di suatu sore nan sejuk, bahwa, "kita perlu menghidup hal-hal gila agar menimba kebijaksanaan-kebijaksanaan darinya."
Dia cukup tersenyum sambil mengangguk-angguk kepalanya, tanda menyetujuinya. Sejak itu aku sering menemaninya berjalan-jalan di tepi danau, meneguk seteguk kopi atau teh di beberapa warung minum.
Ia suka mendengar setiap aku menceritakan tentang dunia yang kugumuli. Sebagai orang yang humoris, ia sering kurang serius mendengar setiap kisahku.
Terkadang dengan nakal ia mengatakan, "I Love You", di saat aku masih bercerita. Ketika mendengarnya, naluri antena rasa ketertarikan tersirat, juga tersurat di wajahku.
Terkadang ia melemparkan pertanyaan-pertanyaan diluar dugaanku. Semisalnya, "Andai ingatanmu pergi, mungkinkah rasamu padaku akan terlupa, tandas tak bersisa?"
"Andai ingatanmu tak ada lagi, mungkinkah rasamu padaku luruh tak berbekas seperti tak pernah kau kecap?"
"Andai ingatanmu mengabur saat senja, mungkinkah rasamu padaku akan tersamar seperti kaca yang berembun karena hujan?,"
Ia daratkan pertanyaan-pertanyaan gila dengan manja pada indera pendengarku.
Saat itu yang kuberikan hanya diam.
Ku kotakkan pertanyaan-pertanyaannya di sanubari kotak jiwaku. Mencari satu waktu untuk membukanya dalam pelukan jiwa-raga.
Waktu untuk mengatakan padanya, andai suatu saat ingatanku tak ada lagi, bahwa rasa ini tak akan terlupa.
Seperti rintik hujan yang tak terbendung awan, seperti gelap yang menandai malam, ingatanku takkan pernah kuasa menyangkal rasa.." Itulah jawabanku untuk semua andaimu dan tertinggal meninggalkan 2014.
Diterbitkan di Harian SIB, Minggu, 4 Januari 2015.
https://hariansib.com/Sinar-Remaja/-Rasa-yang-Tak-akan-Terlupa--Tertinggal-2014
SUARA TOBA.