![]() |
Ilustrasi.(Nulis.co.id). |
Bakti hujan membasahi bumi belumlah usai. Di langit, awan tebal belum berlalu dan tak berubah sejak tadi pagi. Sisa air hujan semalam belum mengering. Ia masih tergenang di jalan-jalan.
Saat hujan turun, seringkali aku berangan-angan mengajakmu menikmati hujan. Walau kutahu, kau bukanlah penyuka hujan. Setidaknya, selama ada aku yang merapatkan bahuku ke tubuhmu agar tetap di bawah payung, tidak kejatuhan hujan.
Ada punggungku yang bisa kau gunakan bersembunyi kalau-kalau gelegar petir mengageti kita. Kau kan aman, bukan?
Yaps!! Aku ingin menikmati deras hujan bersamamu sampai kemudian kita menyaksikan penampakan alam selepas hujan bersama-sama sembari menikmati kopi yang baru saja ku seduh.
Ya..! Itu mimpi yang kan selamanya mengendap dalam ilusi. Bersebab aku dan kamu hidup dalam ruang dan dimensi yang berbeda.
Ibarat malam dan siang. Aku hidup untuk malam dan akan kembali pada malam. Sementara kau? Hidupmu untuk siang dan kembali pada siang, biasmu hidup dibalik rembulan, sinarmu menembus malam.
Tapi sekali lagi itu bukan kamu. Kamu hanya serpihan ilusi dibalik bulan, dan aku hanya mencintai sepenggal dari ilusi yang kau buat.
SUARA TOBA.
Yaps!! Aku ingin menikmati deras hujan bersamamu sampai kemudian kita menyaksikan penampakan alam selepas hujan bersama-sama sembari menikmati kopi yang baru saja ku seduh.
Ya..! Itu mimpi yang kan selamanya mengendap dalam ilusi. Bersebab aku dan kamu hidup dalam ruang dan dimensi yang berbeda.
Ibarat malam dan siang. Aku hidup untuk malam dan akan kembali pada malam. Sementara kau? Hidupmu untuk siang dan kembali pada siang, biasmu hidup dibalik rembulan, sinarmu menembus malam.
Tapi sekali lagi itu bukan kamu. Kamu hanya serpihan ilusi dibalik bulan, dan aku hanya mencintai sepenggal dari ilusi yang kau buat.
SUARA TOBA.