Memahami Regulasi Masyarakat Hukum Adat dan Penetapan Hutan Adat -->

Memahami Regulasi Masyarakat Hukum Adat dan Penetapan Hutan Adat

Suriono Brandoi
Rabu, 01 Agustus 2018
Ilustrasi. (Yayasan Citra Mandiri Mentawai). 
Oleh: Yoseph Tien
Hutan Adat menjadi salah satu dari 5 skema Perhutanan Sosial di luar Jawa, setelah Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan dan Kemitraan Kehutanan. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak, dijelaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat (Pasal 1 angka 6).

Sementara itu menurut P.32/Menlhk-Setjen/2015 ini, yang dimaksudkan dengan masyarakat hukum adat adalah sekelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum (Pasal 1 angka 11).

Masih menurut P.32/Menlhk-Setjen/2015 ini juga, syarat permohonan penetapan hutan adat meliputi :
a. Terdapat masyarakat hukum adat atau hak ulayat yang telah diakui pemerintah daerah melalui produk hukum daerah;
b. Terdapat wilayah adat yang sebagian atau seluruhnya berupa hutan;
c. Surat pernyataan dari masyarakat hukum adat untuk menetapkan wilayah adatnya sebagai hutan adat (Pasal 6).

Pasal 6 dari P.32/Menlhk-Setjen/2015 ini jelas dan tegas mensyaratkan adanya masyarakat hukum adat. Sekarang mari kita cermati pada regulasi diatasnya, apakah yang dimaksudkan dengan masyarakat hukum adat itu dan sebenarnya siapakah yang berwenang dalam menetapkan atau mengakui keberadaan mereka. 

UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”

Selanjutnya berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 32/PUU/-V/207, telah ditetapkan persyaratan dan parameter kesatuan Masyarakat Hukum Adat, sebagai berikut:

1. Masih hidup, parameternya: suatu kesatuan Masyarakat Hukum Adat secara de facto masih hidup (actual axistence), setidaknya mengandung unsur-unsur: 1) adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling) 2) adanya pranata pemerintahan adat; 3) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; 4) adanya perangkat norma hukum adat; 5) adanya wilayah tertentu, khusus pada kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang bersifat teritorial.

2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat, parameternya: 1) keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah; dan 2) substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

3. Sesuai dengan prinsip NKRI, parameternya: apabila suatu kesatuan Masyarakat Hukum Adat tidak mengganggu eksistensi NKRI sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum, dalam artian: 1) keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas NKRI, 2) substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

4. Yang diatur dalam undang-undang, parameternya: pengaturan berdasarkan undang-undang yang bersifat umum, undang-undang yang bersifat sektoral, maupun dalam peraturan daerah.

Dengan demikian, kesatuan Masyarakat Hukum Adat dapat dikonsepkan atau disimpulkan sebagai suatu organisasi yang meliputi unsur-unsur yang saling berkaitan, yakni: a) adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling); b) adanya pranata pemerintahan adat; c) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan d) adanya perangkat norma hukum adat serta e) adanya wilayah tertentu.

Sekarang mari kita kembali melihat dalam undang-undang sektoral atau khusus sebagaimana dimaksud pada uraian tentang persyaratan dan parameter di atas. Dalam Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian Masyarakat Hukum Adat dapat kita bedah dalam beberapa kriteria sebagai berikut:

A. Kriteria bentuk masyarakat: masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemens-chap);
B. Kriteria kelembagaan: ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
C. Kriteria wilayah: ada wilayah hukum adat yang jelas;
D. Kriteria pranata pemerintahan: ada pranata dan perangkat hukum. Khususnya peradilan adat yang masih jalan;
E. Kriteria lain: masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

Kriteria-kriteria tersebut di atas hendaknya menjadi perhatian kita dalam memandang dan mencermati keberadaan Masyarakat Hukum Adat, dalam konteks dan kerangka pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat menuju pengukuhan Hutan Adat.

Dalam konteks pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat sebagai subjek, pemerintah daerah setempatlah yang berwenang. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, yang antara lain menegaskan bahwa:

1. Masyarakat Hukum Adat adalah Warga Negara Indonesia yang memiiki karakteristik khas, hidup berkelompok secara harmonis sesuai hukum adatnya, memiliki ikatan pada asal usul leluhur dan atau kesamaan tempat tinggal, terdapat hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum dan memanfaatkan satu wilayah tertentu secara turun temurun (Pasal 1 angka 1).

2. Gubernur dan bupati/walikota yang berwenang melakukan pengakuan dan perlindungan  masyarakat hukum adat” (Pasal 2).

3. Tentang struktur kelembagaan yang melakukan pengakuan dan perlindungan, Pasal 3 Permendagri ini menetapkan:
(1) Dalam melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, bupati/walikota membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota;
(2) Struktur organisasi Panitia Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas: a. Sekretaris Daerah kabupaten/kota sebagai ketua; b. Kepala SKPD yang membidangi pemberdayaan masyarakat sebagai sekretaris; c. Kepala Bagian Hukum sekretariat kabupaten/kota sebagai anggota; d. Camat atau sebutan lain sebagai anggota; dan e. Kepala SKPD terkait sesuai karakteristik masyarakat hukum adat sebagai anggota;

(3) Struktur organisasi Panitia Masyarakat Hukum Adat Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Keputusan Bupati/walikota.

4. Sedangkan untuk tahapan pengakuan dan perlindungan Pasal 4 mengaturnya sebagai berikut:
a. identifikasi Masyarakat Hukum Adat; 
b. verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; 
c. penetapan Masyarakat Hukum Adat.

Kembali pada tahapan pengukuhan hutan adat, setelah suatu komunitas atau kesatuan Masyarakat Hukum Adatnya diakui dan dilindungi oleh otoritas pemerintah daerah setempat, maka Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan sudah dapat mengajukan permohonan pengakuan dan penetapan Hutan Adat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015.

Atas dasar permohonan ini maka langkah selanjutnya adalah tahapan verifikasi dan validasi usulan permohonan Hutan Adat sebagaimana telah diatur dalam Perdirjen PSKL No.P.1/PSKL/SET/KUM.1/2/20016 Tentang Tata Cara Verifikasi dan Validasi Hutan Hak.

SUARA TOBA.