Pergeseran Gerakan Mahasiswa -->

Pergeseran Gerakan Mahasiswa

Suriono Brandoi
Kamis, 20 September 2018
Ilustrasi.
Ada tiga pilar kekuatan mahasiswa yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Yakni kelompok menulis, diskusi dan aksi (demonstrasi). Jika tiga kekuatan itu disatukan maka tercipta mahasiswa yang bisa diandalkan.
Oleh: Suriono Brandoi Siringoringo, SE.
Semasa kuliah dulu dan saat masih menjabat sebagai pemimpin redaksi di pers mahasiswa tempat saya menimba ilmu, seringkali saya bersama beberapa teman-teman redaksi kerap terlibat dalam diskusi ringan dan terkadang sedikit ngawur seputar gerakan mahasiswa.

Dari zaman orde lama, orde baru hingga reformasi menjadi topik pembahasan kami. Tapi yang paling membuat saya sebagai mahasiswa yang lahir di zaman reformasi ini merasa tersohok adalah kapan gerakan mahasiswa mencapai zaman keemasannya?

Kemudian saya berkesimpulan semua zaman adalah emas bagi orang yang ada di zaman itu. Ada senior saya dulu misalnya mencontohkan, zaman emas itu ketika orde baru tumbang pada tahun 1998, saat dirinya mahasiswa.

Dan kemungkinan saat sekarang ini ketika saya berbincang dengan adik-adik mahasiswa, mungkin saya akan katakan bahwa zaman keemasan adalah ketika saya mahasiswa.

Begitulah kita memandang sejarah, karena sudah menjadi tabiat kita ingin menjadi bagian dari sebuah sejarah dan sejarah itu kita anggap gemilang.

Terlepas dari itu, jika kita flash back ke belakang perjalanan panjang gerakan mahasiswa telah menjadi pelopor dan aktor pejuang kemerdekaan. Mahasiswa pula yang dibebani mengisi kemerdekaan itu.

Pada Februari 1925, mahasiswa Indonesia asal Belanda, indische vereenerging sudah menerbitkan majalah, Indonesia Merdeka. Suara-suara kemerdekaan itu menjadi pelecut perjuangan bangsa Indonesia.

Terlebih setelah mahasiswa itu pulang kampung dan memprakarsai lahirnya sejumlah perlawanan, terutama bagaimana cara berdiplomasi.

Setelah kemerdekaaan berhasil diraih. Kemudian terjadi distorsi gerakan pada tahun 50-an. Arus politik mulai masuk ke lorong-lorong kampus. Tak sedikit aktivis lembaga-lembaga kemahasiswaan mulai berafiliasi yang memperjuangkan nilai-nilai kelompok tertentu terutama partai politik.

“Perselingkuhan” ini tak berlangsung lama. Setelah Soekarno lengser dan Soeharto mengambil alih tampuk kekuasaan pada 1968. Meski demikian, mahasiswa juga terlibat dalam merumuskan ideologi pembangunan yang diusung Soeharto.
Ilustrasi.
Namun pascapemilu pertama pada 1971 mahasiswa mulai gencar mengeritik. Beberapa aktivis diringkus seperti Hariman Siregar, Sjahrir, dan Fadjroel Rachman. Soeharto dengan kekuatan militernya dengan mudah menculik para aktivis itu. Puncaknya pada peristiwa berdarah Malaria 1974.

Singkat cerita, di tahun 1998 jelang tumbangnya rezim Suhanto, setelah reformasi bergulir dan kebebasan menjadi kebutuhan. Suara mahasiswa menjadi sangat dominan. Mahasiswa turun ke jalan hampir setiap hari.

Sehingga lambat laun masyarakat mulai bosan dengan model aksi (oknum) mahasiswa yang menutup jalan, merusak fasilitas umum dan sebagainya.

Satu hal yang perlu dicatat, setelah reformasi gerakan mahasiswa terpecah-pecah. Jika zaman orde baru mahasiswa punya musuh bersama yakni tirani Soeharto. Setelah reformasi gerakan mahasiswa punya visi yang berbeda-beda bergantung kampus atau daerahnya.

Sialnya bentrok sesama mahasiswa menjadikan citra mahasiswa kian buruk. Dan tibalah kita pada masa kebingungan ini dimana mahasiswa butuh pengakuan sebagai agent of change sementara arus perubahan terus-terus mengerusnya. Oleh karena itu gerakan mahasiswa akan “dipaksa’ mengikuti perubahan itu. 

Namun sayangnya, ketidakmampuan mengikuti arus perubahan itu, arah gerakan mahasiswa kini telah berubah signifikan.

”Berikan aku 1000 anak muda maka aku akan memindahkan gunung tapi berikan aku 10 pemuda yang cinta akan tanah air maka aku akan menguncang dunia.” (Soekarno).

Sekarang seandainya Soekarno masih ada, saya berani katakan akan kuberikan 100.000 pemuda (mahasiswa), apakah bapak berani membentuk sebuah negara yang kuat untuk mengguncang dunia?

Tentu waktu itu Soekarno masih sangat yakin dengan kekuatan pemuda khususnya mahasiswa. Lalu bagaimana dengan mahasiswa zaman sekarang.?
Ilustrasi.
Pergeseran Gerakan Mahasiswa
Beberapa waktu yang lalu, seorang penulis mantan aktivis mahasiswa pada era reformasi menulis dalam kolom opini sebuah koran lokal di kota Medan bahwa mahasiswa sekarang mengalami pergeseran budaya.

Saat ini bukan lagi zaman di mana buku-buku, dengan perpustakaan sebagai tempat nongkrong atau diskusi. Kita saat ini ada pada generasi internet (facebook, twitter, whatsapp, dll) yang menjadikan warkop (warung kopi) sebagai tempat menghabiskan waktu.

Sebenarnya ini bukan perubahan gaya hidup saja melainkan revolusi secara global dalam semua aspek kehidupan. Dulu ketika masih mahasiswa baru saya didoktrin bahwa ada tiga pilar kekuatan mahasiswa yang tidak bisa dipisah-pisahkan.

Kekuatan tersebut yakni kelompok menulis, diskusi dan aksi (demonstrasi). Kini jarang kita dapati ketiga komponen itu bersatu.

Gerakan mahasiswa mestinya punya konsep yang terstruktur. Konsep itu barang tentu harus didiskusikan lalu jika sudah mantap baru aksi demonstrasi digelar. Jika tiga kekuatan itu disatukan maka tercipta mahasiswa yang bisa diandalkan sebagai generasi emas itu.

Sayangnya saat ini banyak keluhan yang saya dengar dari teman-teman fungsionaris lembaga kemahasiswaan. Mereka pada umumnya mengeluh persoalan kader. Diantara mereka ada yang mengeluhkan persoalan kuantitas.

Mahasiswa yang berminat berorganisasi hampir setiap tahun menurun. Di samping itu persoalan kualitas, mahasiswa sekarang dinilai tak kritis lagi. Parahnya sudah tidak kritis tak berani pula.

Hal yang paling membedakan antara dunia kampus dengan sekolah adalah bahwa kampus memberikan kebebasan lebih kepada mahasiswa untuk berkreasi.

Lembaga/organisasi kemahasiswaan sebagai salah satu wadah pengembangan bakat minat adalah warna tersendiri di kampus. Kehadiran organisasi tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi mahasiswa di tengah menumpuknya tugas-tugas kuliah.

Namun, jika mencermati minat berlembaga/organisasi mahasiswa saat ini yang kian menurun patutlah kita merasa prihatin.

Saya mencermati setidaknya ada beberapa faktor mengapa mahasiswa tak lagi tertarik berorganisasi.

Pertama, hedonisme (hura-hura) secara perlahan merasuki kaum muda-mudi tak terkecuali mahasiswa. Mahasiswa kini tak bisa lagi secara universal disebut kaum intelektual atau pembawa perubahan.

Hedonisme telah merubah banyak di antara mereka dari kutu buku menjadi pencinta club malam, miras bahkan narkoba. Pergeseran perilaku ini tak bisa dilepaskan dari pengaruh arus globalisasi sehingga cenderung sangat sulit dibendung.

Organisasi seharusnya mampu memberikan kesibukan kepada mereka sehingga tak ada waktu untuk terjebak pada perilaku menyimpang ini dengan mengelar kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial seperti baksos atau kegiatan yang kompetitif seperti lomba menulis dan sebagainya. Kegiatan yang tak diperoleh di bangku kuliah.

Kedua, munculnya tanggapan miris di kalangan mahasiswa sendiri bahwa organisasi menghambat prestasi akademik. Banyak yang enggan berorganisasi lantaran melihat rekannya yang berorganisasi prestasi akademiknya anjlok.

Sehingga muncul anggapan bahwa organisasi menghambat mahasiswa dalam menyelesaikan studinya. Padahal sejumlah organisasi kemahasiswaan telah menetapkan indeks prestasi akademik tertentu atau jumlah SKS yang harus dilulusi sebagai prasyarat menjadi pengurus. Ini yang perlu ditegakkan lagi.

Ketiga, ada persepsi publik yang terbangun saat ini bahwa pengurus lembaga kemahasiswaan hanya memiliki bakat demonstrasi.

Image ini muncul dari sejumlah pemberitaan media massa bahwa umumnya aksi demonstrasi menyusahkan masyarakat misalnya pemblokiran jalan dan sebagainya.

Apalagi jika demonstrasi yang digelar berakhir bentrok. Hal ini membuat banyak orang tua melarang anaknya berorganisasi. Padahal, jika dipahami demonstrasi adalah ekspresi ketidakpuasan pihak tertentu terhadap sebuah kebijakan, jadi demonstrasi dapat dilakukan oleh setiap warga Negara, bukan hanya mahasiswa.

Di sisi lain, sungguh disayangkan bahwa tak jarang gerakan mahasiswa tak mengundang simpati melainkan antipati dari masyarakat lantaran gerakan mereka tak independen lagi.

Sekarang ini, beberapa aksi yang digelar cenderung berbau politis alias ditunggangi oleh pihak yang punya kepentingan. Banyak yang ikut demonstrasi tak menguasai wacana sehingga kesannya ikut-ikutan.

Jadi tak perlu heran manakala mahasiswa sekarang lebih memilih apatis ketimbang jadi organisatoris sebab mereka memandang organisasi tak lagi menjadi alat kebanggaan. Bahkan organisasi tak memberikan jaminan kehidupan yang layak di hari tua.(*)

Penulis adalah mantan aktivis pers mahasiswa.

SUARA TOBA.