![]() |
Monumen Pancasila Sakti. |
Sungguh sedih rasanya mengingat kembali peristiwa itu. Terlalu pahit untuk dikenang. Namun kita berharap peristiwa itu menjadi pelajaran bagi kita semua agar tak akan terjadi peristiwa seperti itu lagi dalam masa-masa berikutnya.
Oleh: Suriono Brandoi Siringoringo, SE
Hari ini (30/9), kembali kita mengenang peristiwa G30S/PKI dan esok, 1/10 Hari Kesaktian Pancasila. Kedua peristiwa ini memang isu jadoel dalam khazanah kehidupan bangsa kita. Namun isu ini masih terus menjadi polemik, seolah tak mampu untuk diluruskan sejarahnya.
Peristiwa G30S/PKI memang akan selalu menjadi ingatan bangsa dalam perjalanan sejarah. Peristiwa yang merenggut setidaknya tujuh orang perwira Angkatan Darat yang selanjutnya disebut Dewan Revolusi.
Bahkan pada waktu-waktu berikutnya ada 500.000-1.000.000 jiwa manusia yang diambil untuk membayar peristiwa itu. Secara politik peristiwa tersebut terpaksa menyeret Bung Karno dari tampuk kekuasaannya.
Sebagai generasi muda yang terlahir ke bumi ini, di eranya orde baru. Tentunya, sejarah tentang G30S/PKI yang saya ketahui hanyalah versi orde baru yang saya pelajari di buku sekolahan dan tayangan di TVRI tentang kekejaman PKI yang selalu ditayangkan setiap tanggal 30 September.
Dalam buku sejarah dan film yang saya tonton, bahwa gerakan G30S/PKI merupakan rencana kudeta terhadap pemerintahan yang berkuasa saat itu yaitu Soekarno dengan melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap jenderal-jenderal ABRI yang dimotori oleh PKI dan dibantu dengan militer yang berafiliasi dengan PKI yaitu Cakrabirawa di bawah Letkol Untung.
Dan sejak dari kecil setiap 30 September kita disuguhi film tentang pemberontakan PKI. Disitu ditayangkan bagaimana PKI dengan kejamnya menculik dan membunuh jenderal-jenderal (A. Yani, dkk).
Namun sampai saat ini masih banyak labirin-labirin yang selalu menimbulkan pertanyaan terkait fakta sebenarnya atas peristiwa memilukan itu. Dan dari berbagai buku dan literatur, baik terbitan barat, maupun kesaksian Subandrio pun masih banyak hal yang menjadi pertanyaan.
Karena semua itu hanyalah film buatan orde baru yang tentu kita tidak tahu bagaimana kebenaran ceritanya. Bahkan ketika orde baru runtuh pun kita belum tahu bagaimana sejarah yang benar tentang peristiwa tersebut, mengingat banyak saksi sejarah yang sudah tidak ada (meninggal, vonis hukuman mati atau bahkan ditembak di tempat).
Hal ini seharusnya pemerintah perlu meluruskan bagaimana sejarah yang sebenarnya terjadi pada saat peristiwa G 30 S PKI. Sebab peristiwa ini merupakan tonggak awal dari berdirinya rezim kediktatoran Soeharto, masuknya korporat-korporat asing yang mengeruk kekayaan bangsa kita.
Selain itu yang terpenting adalah bagaimana bencana kemanusiaan, pembunuhan massal terhadap orang-orang PKI di seluruh negeri ini yang menurut berbagai sumber mencapai setengah juta jiwa di Jawa dan Bali ini bisa terjadi.
Lalu siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap pembantaian tersebut? Siapakah yang harus bertanggungjawab terhadap pengambilan hak-hak, pendiskriminasian mereka yang keturunan PKI? Bagaimana mungkin kesalahan kolektif masih bisa diterima oleh bangsa ini?
Itulah rule of law yang telah ditolak di seluruh dunia. Hanya bangsa kitalah yang menerimanya. Bagaimana mungkin pemberontakan oleh militer dan sipil yang pro terhadap PKI menjadi kesalahan seluruh partai PKI? Dosa seluruh pengikut PKI?
Sejarah dalam kerangka keilmuan (ilmu sejarah) memiliki watak tridimensional. Yaitu kesinambungan antara hari kemarin, hari sekarang dan hari depan. Walaupun tekanan penyelidikan sejarah adalah hari kemarin, tapi ketiga komponen waktu tersebut bertaut erat, tidak terpisah dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain.
Masa lampau adalah pijakan bagi kehadiran masa kini dan masa kini adalah kerangka pematangan menuju masa depan. Serta masa depan adalah sesuatu yang belum, namun pasti akan terwujud.
Untuk itulah, G30S/PKI tidak dapat diabaikan begitu saja, mengingat bahwa peristiwa tersebut menjadi faktor bagi operasi paling efektif pembasmian suatu ideologi di sebuah negara. Stigmatisasi yang diterapkan terhadap mereka yang tidak terlibat langsung dengan komunisme.
Banyaknya korban berjatuhan yang tidak tahu mereka terlibat atau tidak, tetap dieksekusi dengan gaya militerisme yang menjadikan dalam sejarah tragedi terbesar di negeri ini.
Akhir kata, sungguh sedih rasanya mengingat kembali peristiwa itu. Terlalu pahit untuk dikenang. Namun kita berharap peristiwa itu menjadi pelajaran bagi kita semua agar tak akan terjadi peristiwa seperti itu lagi dalam masa-masa berikutnya.
Semoga peristiwa tersebut bisa memberi pelajaran bagi kita generasi muda bahwa pertikaian itu hanya akan menimbulkan air mata nantinya. Dan orang tua terdahulu kita telah membuktikan itu. Betapa pilunya sebuah akibat dari pertikaian. Jangan, jangan, dan jangan sampai terulang lagi peristiwa pilu itu. (Tulisan ini diterbitkan di Harian Medan Bisnis, di Kolom Wacana, Kamis, 3 Oktober 2013).
http://www.medanbisnisdaily.com/m/news/read/2013/10/03/54225/berharap-akan-adanya-pelurusan-sejarah-g30s-pki/
SUARA TOBA/SBS.