Subjek Dalam Sebuah Tulisan -->

Subjek Dalam Sebuah Tulisan

Suriono Brandoi
Minggu, 16 September 2018
Ilustrasi.
Ketika sebuah tulisan hadir di depan kita, maka tulisan menjadi berbunyi dan berkomunikasi hanya ketika kita membacanya dan membangun makna berdasarkan asumsi kita yang ada. Jadi, makna itu muncul dari pertautan antara tulisan, pikiran penulis, dan benak pembacanya.
Oleh: Suriono Brandoi Siringoringo, SE. Mungkin sering sekali kita menemukan tulisan-tulisan yang kontroversial, maksudnya tulisan yang bisa menjadi bahan perdebatan atau bahkan melebar menjadi saling hujat menghujat.

Katakanlah ketika si A membaca tulisan yang baru diposting si B, namun si A merasa ada kejanggalan pada pendapat ataupun tulisan si B dan si A mengkritisi pendapat/tulisan si B itu karena kurang berterima dengan pernyataan /tulisan si B tadi.

Hal-hal semacam ini bisa terjadi menurut saya, tak lain karena ketika membaca sebuah tulisan yang diposting oleh seseorang, para pembaca telah memiliki asumsi sendiri dalam memaknai tulisan yang diposting tersebut.

Maksudnya begini, ketika seseorang membaca sebuah tulisan sedikitnya disana terdapat tiga subjek yang membangun maknanya masing-masing. Tiga subjek yang saya maksud ialah tulisan, penulis dan pembaca.

Jadi jika pikiran hanya tertuju dan terpusat pada tulisan, sesungguhnya kita sudah berasumsi bahwa tulisan mempunyai eksistensi otonom yang bisa berbicara sendiri dan untuk memahami isinya kita tidak harus mengaitkan dengan subjek penulisnya.

Bukankah ada kalanya kita tenggelam dalam tulisan (kata-kata) tanpa pernah bertanya secara kritis siapakah penulisnya dan kepada siapa tulisan itu sesungguhnya ditujukan?

Sebuah tulisan begitu ditulis oleh penulisnya dan kemudian diposting, dia telah menjadi milik publik. Dia akan berbicara sendiri menyampaikan isinya melalui asumsi yang dimilikinya.

Asumsi ini tentu saja mengandung banyak kebenaran meskipun juga memiliki kelemahan. Sisi kebenarannya terletak terutama pada kenyataan bahwa kita bisa menghargai tulisan dan bisa berguru pada tulisan-tulisan tanpa harus bertemu dengan penulisnya untuk mengecek benar-salahnya serta menanyakan motifnya menulis sebuah tulisan.

Tidakkah sebuah tulisan yang hadir di depan kita bisa menipu atau setidaknya tidak mampu mengungkapkan sebuah realitas secara utuh? Dengan ungkapan lain, sejauh mana sebuah tulisan bisa dipercaya validitas dan akurasi derajat kebenaran yang disampaikannya?

Pertanyaan ini mengajak kita untuk menggugat otonomi sebuah tulisan karena pada dasarnya tulisan hanyalah sebagian dari pikiran penulisnya. Disamping juga sebuah tulisan tidak selalu akurat dalam menghadirkan sebuah realitas atau menyajikan sebuah konsep.

Dalam hal ini kita harus dapat menduga sasaran pembaca yang dibayangkan oleh penulisnya sendiri. Karenanya, sangat mungkin kita akan salah paham ketika membaca sebuah karya tulis.

Sebuah tulisan yang dihasilkan seorang yang berstatus mahasiswa misalnya pasti akan berbeda semangat, gaya dan pesannya dari sebuah karya tulis yang ditulis seorang yang berstatus dosen.

Bukankah gagasan, cita-cita dan suasana batin penulis jauh lebih kompleks, namun tidak semuanya bisa dituangkan dalam karya tulis? Bukankah apa yang ditulis oleh seorang penulis kadangkala bersifat tentatif dan merupakan mata rantai pemikiran yang masih terus berkembang?

Menyadari tulisan dan penulisnya saling bertautan namun jarang sekali keduanya hadir bersama-sama di hadapan kita sebagai pembacanya. Dalam setiap pemahaman dan penafsiran sebuah tulisan, faktor subjektivitas pembaca menjadi sangat berperan.

Membaca berarti juga menafsirkan. Lebih jauh lagi, membaca dan menafsirkan sesungguhnya juga “menulis ulang” dalam bahasa mental dan bahasa pikir sang pembaca yang hanya saja tidak dituliskan.

Ketika sebuah tulisan hadir di depan kita, maka tulisan menjadi berbunyi dan berkomunikasi hanya ketika kita membacanya dan membangun makna berdasarkan asumsi kita yang ada. Jadi, makna itu muncul dari pertautan antara tulisan, pikiran penulis, dan benak pembacanya.

Karena itu, ketika ada tulisan yang dituliskan seorang penulis menjadi bahan perdebatan sengit, itu karena kita dalam menafsir sebuah tulisan tak terlepas dari sikap mental dan budaya masyarakat pendukung bahasa kita (pembaca).

Maksud saya begini, karena bahasa (kata-kata) maknanya dapat menyempit, melebar, bahkan berubah (distorsi). Terkadang kosa-kosa kata, maknanya bertolak belakang dengan makna awalnya.

Jadi, ketika sebuah tulisan hadir, tafsir yang ada tidak terlepas dari ruang dan kondisi psikologis pembacanya.

Lantas, siapakah yang telah melakukan tindakan kesalahan ketika si A menafsir tulisan si B sesuai dengan asumsi yang ada di benaknya? Tulisan saya ini pun kelak akan ditafsir oleh para pembaca dengan asumsi yang berbeda-beda. Tentu saja yang paling tahu makna tulisan tentu sang pembuat tulisan. Iya kan?

Akhir kata, mari membangun makna berdasarkan asumsi kita yang ada namun harus tetap saling hormat menghormati, jauhkan sikap saling merendahkan harkat dan martabat lawan diskusi.

Sebagai penutup dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan, di balik sebuah tulisan, sesungguhnya terdapat sekian banyak variabel serta gagasan tersembunyi. Hal tersebut harus dipertimbangkan agar kita lebih mendekati kebenaran mengenai gagasan yang hendak disajikan oleh tulisan.

SUARA TOBA.