Profesi PNS Ladang Empuk Tindak Korupsi? -->

Profesi PNS Ladang Empuk Tindak Korupsi?

Suriono Brandoi
Senin, 01 Oktober 2018
Ilustrasi.
Mentalitas bangsa ini bisa berubah kalau dilakukan secara kolektif, bukan hanya perilaku individual yang terpisah.
Oleh: Suryono Brandoi Siringo-ringo, SE
Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam survei yang melansir tren penegakan hukum kasus korupsi menyebutkan, tersangka berlatar belakang pegawai negeri sipil (PNS) menempati urutan teratas selama tahun 2017.

Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Daerah (Pemda) dinilai menjadi aktor pelaku korup terbanyak selama tahun 2017. Hal ini disampaikan Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Laola Ester dalam data tren pelaku profesi korupsi berdasarkan profesi tahun 2015-2017.

"Dari keseluruhan terdakwa korupsi, aktor yang berprofesi sebagai pegawai di tingkat Pemkab/Pemkot/Pemprov masih menempati urutan tertinggi sebagai pelaku korupsi," kata Laola di Kantor ICW Jakarta, Kamis (3/5).

Laola membeberkan ada 456 PNS Daerah yang terjerat kasus korupsi di tahun 2017. Angka ini meningkat drastis dari tahun 2016 yang terkena kasus korupsi sebanyak 217 PNS Daerah.

Tak hanya itu, di semester I 2018 hasil pantauan ICW, aparatur sipil negara (ASN) masih urutan teratas yang paling sering melakukan korupsi. Hal itu disampaikan Staff Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah.

“ASN aktor paling banyak (korupsi) mereka adalah pelaksana dalam sejumlah kegiatan. Hal ini dimungkinkan atas ASN tidak melakukan yang diberikan oleh atasan akan dikenakan pemindahan, mutasi, dan sebagainya,” kata Wana di Kantor ICW, Jakarta Selatan, Selasa (18/9/2018).

Dari pemetaan yang dilakukan ICW, terdapat 10 kasus korupsi berdasarkan aktor yang melakukan. Aktor-aktor tersebut sebagai berikut yakni ASN sebanyak 101 orang, ketua atau anggota DPRD terdapat 68 orang, pihak swasta sebesar 61 orang.

Selanjutnya ada kepala desa dengan jumlah 29 orang, kepala daerah terdapat 22 orang, pejabat pengadaan ada 19 orang. Adapula, aparatus desa sejumlah 11 orang, ketua atau anggota koperasi sejumlah 9 orang, masyarakat sebanyak 6 orang serta ketua atau anggota kelompok atau organisasi sejumlah 6 orang.

Anomali Profesi PNS
Korupsi menurut bahasa latin yaitu corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.

Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Akar korupsi yang paling kuat memang berada di lembaga birokrasi. Birokrasi tak ubahnya mesin korupsi yang tak akan pernah berhenti memproduksi koruptor.

Sehingga bukan hal baru lagi bila banyak yang menganggap profesi PNS menjadi ladang empuk untuk berbuat tindak pidana korupsi. Mulai dari mark up proyek, perjalanan dinas, hingga percaloan perizinan dari urusan ecek-ecek seperti KTP, akta, kartu kuning hingga urusan berat seperti IMB, siteplan, izin lokasi, izin usaha, izin ekspor impor, dan sebagainya.

Meskipun radar KPK telah sampai ke daerah, akan tetapi tidak juga membuat efek jera bagi para pelakunya. Mereka hanya menggantungkan diri pada nasib baik atau nasib buruk saja.

Kalau lolos syukur, kalau tertangkap berarti bernasib sial. Korupsi sudah menjadi budaya berjamaah, tidak lagi bersifat individual. Sistemnya adalah sistem setoran keatas.

Di sisi lain, berbicara tentang PNS, sebuah anomali (lagi) memang sedang melanda negeri kita. Di satu sisi profesi PNS bisa dibilang salah satu yang dibenci oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena ruwetnya saat berurusan dengan birokrasi.

Motto yang cukup terkenal adalah ‘apabila bisa diperlambat kenapa harus dipercepat’, ‘kalau bisa dipersulit mengapa perlu dipermudah’ atau ‘ada uang urusan lancar’. Stigma negatif ini muncul karena ulah oknum-oknum PNS nakal yang setiap berurusan dengan mereka pasti yang di depan mata adalah wajah-wajah garang seperti robot, kaku, doyan duit, dan berbagai stigma negatif lainnya.

Namun di sisi lain, peminat PNS semakin tahun semakin membludak. Seperti tahun 2018 ini, sejak dibuka lowongan CPNS pada 26 September 3018 lalu untuk formasi 238.000 lebih yang akan diterima, para pelamar langsung menyerbu sesuai disiplin ilmu masing-masing.

Efek dari krisis moneter 1998, 2008, dan masih berlanjut hingga saat ini, membuat dunia usaha relatif kurang stabil. Perusahaan silih berganti berdiri dan bangkrut atau pindah lokasi. Hal ini menyebabkan keamanan dan kenyamanan bekerja di sektor swasta atau wiraswasta menjadi terancam.

Satu-satunya cara untuk selamat dunia akhirat sampai tua nanti tentunya harus menjadi PNS, karena gaji terus mengalir tiap bulan, ditambah jaminan uang pensiun ketika sudah tidak mengabdi lagi.

Bahkan tentunya ada juga oknum para calon abdi negara ini rela untuk membayar lebih, hingga ratusan juta rupiah, demi sebuah status bernama PNS. Toh dalam pikiran mereka, nantinya juga pasti terbayar walaupun dengan cara-cara yang tidak halal alias korupsi.

Korupsi Berjemaah
Selama ini yang banyak dicurigai melakukan tindak pidana korupsi adalah PNS golongan tua alias para pejabat dengan eselon yang relatif tinggi.

Kini, para koruptor muda sudah banyak belajar dari para koruptor tua tentang ilmu merampok uang negara. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keungan (PPATK) menyatakan ada 50 persen pegawai negeri sipil (PNS) muda yang kaya tapi korupsi.

Indikator kaya menurut PPATK adalah bergaya hidup mewah, mempunyai barang mewah, dan memiliki rekening tidak wajar. Modus korupsi dilakukan dengan mengalirkan dana yang diindikasikan dari penyelenggaraan negara berupa proyek fiktif, gratifikasi, dan suap kepada keluarga.

Dalam ilmu psikologi kita mengenal teori behavioral atau lebih dikenal dengan teori belajar. Teori ini memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka.

Para PNS muda ketika datang pertama kali di sarang koruptor tentu tidak pernah punya pikiran sedikit pun untuk mencuri uang negara. Pengalaman dan interaksi dengan sistem yang korup membuat pertahanan diri mereka runtuh. Korupsi yang dipraktikkan secara terorganisir membuat abdi negara muda ini tanpa disadari menjadi bagian dari kejahatan terhadap negara.

Faktanya, dari sejumlah penelitian disebutkan bahwa kebanyakan korupsi di lingkungan birokrasi, rata-rata korupsi yang ada adalah korupsi berjemaah, sistemnya adalah sistem setoran keatas. Tanpa setoran yang cukup, maka jangan harap PNS itu bisa menempati pos “basah” yang diberikan oleh atasannya.

Birokrasi adalah sistem, tidak mungkin seseorang tanpa menduduki jabatan penting tiba-tiba menjadi sasaran suap dan gratifikasi. Semua tentu ada hirarkinya. Justru yang aneh itu adalah: kenapa selama ini hanya PNS “kelas teri” yang terkena sabet KPK atau aparat penegak hukum?

Apa karena atasannya pandai menyimpan setoran bawahan? Atau atasan-atasan tersebut juga setor ke samping atau ke atasnya lagi?

Inilah masalah korupsi PNS di Indonesia, yang diatas tidak pernah memberi contoh yang baik kepada bawahannya.

Karena itu, bukan sekadar sebutan birokrasi di negeri ini, terutama di daerah sudah rusak. Terutama di daerah, birokrasi hancur oleh pola menjalankan birokrasi yang primordialistik; seluruh jabatan ‘basah’ di pegang oleh mereka yang masih ada hubungan keluarga. 

Sungguh, KPK atau Menteri Pendayagunaan Aparatur harus memperhatikan persoalan ini. Karena korupsi PNS, tak peduli muda maupun tua, itu sudah menggurita.

Sehingga untuk memberantas korupsi yang sudah mengurat mengakar ini dukungan dari kita pada institusi penegak hukum seperti KPK, kejaksaan, polisi sangat dibutuhkan.

Budaya tranparansi dan akuntabilitas dalam bekerja perlu ditumbuh kembangkan. Pembenahan mental dan moril juga perlu digalakkan. Mentalitas bangsa ini bisa berubah kalau dilakukan secara kolektif, bukan hanya perilaku individual yang terpisah.

SUARA TOBA.