Samosir(ST)
Tertatih-tatih, jalan terhuyung-huyung, untung nafas belum berhenti dicabut sakratul maut. Masih untung bisa merasa, masih untung bisa mengecap.
Bisa melihat, bisa mendengar walau sayup yang terpenting kami masih bisa mengingatmu. Walau terbatas pada seremonial setahun sekali sesudah itu menguap.
Kalian telah tumpahkan air mata darah dan nyawa untuk Indonesia. "PAHLAWAN" melihatmu terbenam di kuburan tanpa nama, miris hati merintih lirih menangis. Jika engkau bisa melihat dan mendengar anak-anakmu kini. Aku tak tega, pasti kau kan menangis mengharu biru.
Mana semangat Bung Karno, semangat Bung Hatta, semangat Jenderal Sudirman, semangat Bung Tomo, semangat Diponegoro, semangat Imam Bonjol, semangat Sisingamangaraja.
Kini hanya tersisa semangat mensejahterakan diri sendiri maupun golongan, semangat menonjolkan ego dan hawa nafsu kekuasaan, menumpuk kekayaan untuk tujuh turunan.
“Wahai pahlawanku," Pancasila yang luhur hanya disimpan di museum. Bhinneka Tunggal Ika hanya menjadi jawaban ujian rutin soal-soal anak SD yang tak dipedulikan lagi maknanya.
Lagu-lagu indah dan syahdu yang kau ciptakan telah diganti dengan lagu-lagu band mellow dan dinyanyikan keras-keras saat kampanye agar kami lupa bahwa kami lapar, agar bapak-bapak pejabat seolah pro rakyat. Semuanya sudah tergadai dan dijual untuk jabatan.
Kami sudah lupa apa itu kebangsaan, apa itu nasionalisme. Yang kami tahu, saat ini kami mencari makan sendiri-sendiri seolah tanpa ada yang memperhatikan kami. (Refleksi Peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2018).
SUARA TOBA/SBS.