Salahkah Wartawan Dekat Dengan Pejabat? -->

Salahkah Wartawan Dekat Dengan Pejabat?

Suriono Brandoi
Senin, 12 November 2018
Pilkada Simalakama Pers
Samosir(ST)
Wartawan dan pemikir besar Amerika, Walter Lippman, pernah membuat marah Presiden Lyndon Johnson. Lippman adalah teman baik Johnson dan sering diundang makan maupun pertemuan empat mata di Gedung Putih.

Kekecewaan Johnson pada Lippman karena ia selalu menulis di koran mengenai ketidaksetujuannya terhadap perang Vietnam padahal di saat itu Amerika tengah menggelorakan semangat rakyatnya untuk terus berperang.

"Kenapa anda masih menulis di koran bahwa anda tidak setuju perang Vietnam secara tajam? Anda kan bisa ngobrol dengan saya dan mengemukakan itu langsung kepada saya." Begitu kata Lyndon Johnson, kesal dan keki.

Jawab Walter Lippman, "Kita memang berteman secara pribadi. Tetapi dalam profesi saya harus tetap berpegang teguh pada panggilan profesi, yaitu memberitakan kebenaran dan menyampaikan pesan hati nurani bila menghadapi tantangan situasi untuk menentukan pilihan sesuai hati nurani masyarakat banyak". Sejak saat itu Lippman tidak dipanggil lagi ke Gedung Putih. (Eriyanto:1999).

Perdebatan Johnson dan Lippman ini menarik. Kenapa Lippman harus menulis ketidaksetujuannya di media massa? Bukankah kritik Lippman ditujukan kepada Johnson? Lalu kenapa kritik itu tidak dibicarakan langsung saja kepada Johnson?

Jawabannya, karena dengan menulis di media massa terjadi diskusi publik yang luas. Diskusi publik yang luas! Ya, itulah salah satu fungsi media pers.

Ia menjadi zona (netral) dimana gagasan politik, kritik, evaluasi rakyat, kampanye, sindiran, dan harapan, dapat diakomodir secara lintas sektoral dan melibatkan multi stake holder (pemangku kepentingan).

Dalam konteks penyelenggaraan Pileg dan Pilpres 2019 misalnya, pemangku kepentingan tentu saja bukan hanya paslon, TS, anggota KPUD, Panwaslih atau elit parpol saja. Tapi juga rakyat jelata sebagai pemilik kedaulatan suara.

Namun suara rakyat jelata jugalah yang kerap diabaikan media pers. Pemberitaan media pers hanya mengakomodir suara-suara elit politik yang berlaga dalam pilkada. Akibatnya pemberitaan media tak ubahnya seperti pamflet bagi masing-masing paslon calon bupati dan wakilnya.

Tak terjadi diskusi publik yang seru dan melibatkan pemangku kepentingan lain. Tak terjadi perdebatan program dari masing-masing pasangan calon. Tak ditemukan berita yang menguliti track record kandidat secara kritis.

Tak ditemukan juga berita harapan-harapan rakyat atau pendapat rakyat tentang calon, nasib mereka pasca pilkada atau sejenis need assesment rakyat kepada calon pemimpinnya.

Wartawan dan media pers bukan sekali atau dua kali meliput pemilu dan pilkada. Tapi kenapa dari satu pemilu ke pemilu, dari satu pilkada ke pilkada lain, suara rakyat kerap diabaikan? Kenapa media pers cenderung mengakomodir suara-suara elit saja? Apa pasal?

Sudah jamak berlaku di daerah bahwa wartawan biasanya memiliki hubungan yang cukup dekat dengan narasumber. Apalagi narasumber yang memiliki surplus kekuasaan politik dan ekonomi.

Relasi sepertu ini sering menjebak wartawan. Batas antara wartawan dan petugas humas seringkali tipis. Bahkan setipis selaput buah salak!

Apakah salah wartawan dekat dengan pejabat? Tentu saja tidak. Dekat dengan siapapun, tidak ada yang melarang. Kedekatan wartawan dengan narasumber bahkan seringkali membawa berkah sampingan.

Misalnya wartawan dapat memperoleh background informasi yang dapat memperkuat argumen tulisannya. Tapi kedekatan juga dapat menjadi sumber bencana. Terutama wartawan tak bisa lagi membedakan perkawanan dengan tugas profesionalnya selaku wartawan.

Dari sinilah asal mula terjadinya perselingkuhan jurnalis dengan narasumber. Yang keluar dari pena jurnalis akhirnya bukan lagi berita, tapi siaran pers berpenampilan berita. Jika itu yang terjadi, maka jurnalisme sbenarnya telah mati.

Belajar dari apa yang dipraktekkan Walter Lipman. Kedekatannya dengan presiden Lyndon Johnson tak menyurutkan kritiknya terhadap kebijakan presiden. Kalaupun pada akhirnya ia tak lagi diundang ke Gedung Putih, itu adalah resiko pekerjaan seorang pemantau kekuasaan!

Ya, wartawan memang memiliki tugas untuk memantau kekuasaan, bukan menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri. Media public watch dog!, demikian istilahnya. Agar dapat menjalankan tugas tersebut, maka wartawan harus mendatangi rakyat.

Menanyakan kepada rakyat apa yang mereka ketahui tentang calon pemimpin mereka. Dengan begitu, media pers dapat menjalankan fungsinya sebagai ruang publik yang mencerahkan! (PILKADA: SIMALAKAMA PERS).

SUARA TOBA/SBS.