![]() |
Selamat hari sumpah pemuda. |
Oleh: Suriono Brandoi Siringoringo
Pemuda merupakan salah satu elemen penting dalam setiap episode panjang perjalanan bangsa ini.
Hal ini tentu saja sangat beralasan mengingat bagaimana pentingnya peran pemuda yang selalu menjadi aktor perubahan dalam setiap momen-momen bersejarah di Indonesia.
Sejarah telah banyak mencatat, dari mulai munculnya kebangkitan nasional hingga tragedi 1998, pemuda selalu menjadi garda terdepan.
Di masa lalu telah banyak tercatat bahwa sudah beberapa kali menancapkan taji intelektualitasnya secara aplikatif dalam memajukan peradaban bangsa ini.
Berkaca dari cermin sejarah, setiap pergerakan dari zaman ke zaman selalu memiliki kekuatan untuk memberikan setetes perubahan pada bangsa ini.
Kritik yang disampaikan pemuda (walaupun terkadang berakhir menjadi wacana saja), seringkali menjadi ”peringatan” yang tajam untuk pemerintah.
Pemuda akan selalu mengalami regenerasi dalam perjuangannya. Karena pergerakannya adalah denyut nadi dari kehidupan itu sendiri.
Seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa. Sejak tahun 1908 sampai dengan tahu 1998, pemuda menjadi penyeimbang pemerintah yang represif, diktator dan bertindak semena-mena.
Ada kebanggaan tersendiri, bukan soal menurunkan diktator Soeharto; tetapi bagaimana perjungan akan keadilan dan kesejahteraan itu bisa disumbangkan kepada negara tercinta ini.
Namun saat ini, sejujurnya pemuda utamanya intelektual muda, mahasiswa kehilangan orientasi gerakan. Sejak jatuhnya Soeharto pada bulan Mei 1998, mahasiswa Indonesia saat ini sudah terpecah.
Kalau dulu mahasiswa berhimpun dalam satu barisan untuk melawan rezim diktator yang terkenal otoriter, dimana tenaga, waktu, air mata, keringat, bahkan darah menjadi taruhannya.
Dimana para martir intelektual berguguran dan betapa mahal dampak huru hara setelah peristiwa-peristiwa tersebut, kini mereka seperti terpecah.
Gerakan mahasiswa seakan menjadi mandul, tidak substansif dan hanya sekedar corong ’sponsor’ saja. Idealisme yang diagung-agungkan sejak masa lampau akhirnya dengan sendirinya tergerus oleh zaman yang menghadirkan persaingan yang tidak sehat.
Kemandulan idealisme menjadi sebuah ’tuduhan’ awal untuk menjawab fenomena ini. Dan bahkan sebagian besar organisasi mahasiswa mengeluhkan hal yang sama.
Kekurangan kader militan yang secara kualitas dan kuantitas seimbang. Yang ada kebanyakan kader karbitan yang sesekali waktu bisa meninggalkan organisasi tanpa permisi. Organisasi intra kampus apalagi.
Pada keadaan seperti ini, sejatinya mahasiswa perlu reorientasi arah gerak dan perjuangan. Pemuda perlu ’ret-ret’ mempertanyakan sejauh mana kontribusi bagi bangsa ini sebagai bukti kalau mahasiswa adalah bagian dari komunitas pemuda intelektual.
Mereka seharusnya mengingat dan merenungkan kembali catatan-catatan sejarah yang selalu menempatkan mahasiswa kritis ataupun sebagai pioneer perjuangan dalam menyatakan kebenaran.
Tanpa radikalisme pemikiran mahasiswa kritis dan dukungan pemuda pada umumnya, niscaya sampai hari ini sejarah hanya akan melewatkan lembaran-lembaran kosong dalam buku catatannya.
Sungguh kita rindu melihat mahasiswa-mahasiswa dari strata sosial, agama, etnis dan latar belakang manapun berteriak dengan lantang dalam satu barisan kalau mereka adalah intelektual Indonesia yang sebenarnya.
“Bangkitlah Mahasiswa Indonesia dari tidur panjangmu.” Kita hidup di dunia nyata. Segala impian dan kenangan mengenai perjuangan dan pergerakan mahasiswa bolehlah tetap ada tetapi jangan sampai kita terus terbuai olehnya.
Tetap beraksi, fokus, dan mengedepankan intelektualitas sebagai kekuatan satu-satunya. Karena pemuda tidak bertindak dengan senjata. Bagi pemuda, senjata adalah kata-kata yang keluar dari kemurnian hati dan kejujuran dalam bertutur.
Jangan sampai idealisme untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat sirna oleh kemilau kemajuan teknologi yang memudahkan hidup dengan mengenyampingkan semangat berpikir.
Kemampuan berpikir kritis terpasung oleh tawaran menggiurkan bernama globalisasi dan pasar bebas yang menyediakan segala sarana bagi manusia. Juga di dalamnya mahasiswa.
Jangan sampai hal ini akhirnya menjadi mitos, bahwa kemandulan aksi dan perjuangan itu bertekuk lutut pada yang namanya fashion, food, and film.
Saatnya bangkit dari tidur panjang dan mimpi indah akan heroiknya perjungan pemuda dulu. Perihal tinta emas yang telah digoreskan dulu layaknyalah dijadikan sebagai bahan refleksi.
Bahwa inilah sebenarnya peran dan tanggung jawab sebagai pemuda yang telah ditunjukkan oleh para pendahulu yang sudah terlebih dahulu menancapkan tombak perubahannya di negeri ini.
Saat ini, bangsa menaruh harapan besar kepada pemuda untuk berperan aktif dalam pembangunan bangsa. Dengan kegagahan intelektualitas, ketegaran jasmani, serta mentalitas yang pantang menyerah menjadikan pergerakan pemuda adalah tonggak utama bagi perubahan.
Oleh karena itu, sudah saatnya pemuda menunjukkan taringnya sebagai garda terdepan agent of change.
Akhir kata, masa kini adalah masanya kita. Siapa yang diam, dia akan ditinggalkan dan dilupakan oleh sejarah. Hanya orang kritis dan beranilah yang membuat perubahan.
Selamat Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2019.
SUARA TOBA/SBS.