Fenomena Caleg Dadakan Dan Pragmatisme Masyarakat -->

Fenomena Caleg Dadakan Dan Pragmatisme Masyarakat

Suriono Brandoi
Minggu, 19 Agustus 2018
Samosir(ST)
Pemilu 2019 sudah semakin dekat. Untuk menyambut pesta lima tahun ini, KPU telah membuka pendaftaran calon anggota legislatif DPR, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota pada 4 Juli hingga 17 Juli 2018 lalu.

Bahkan Daftar Calon Sementara (DCS) telah diumumkan pada 13 Agustus 2018 lalu. Setelah menunggu tanggapan masyarakat terhadap para calon sementara yang ada saat ini, pada akhir bulan September nanti, Daftar Calon Tetap (DCT) akan diumumkan.

Terkait pencalegkan dan melihat banyaknya daftar caleg yang ada saat ini seperti di Kabupaten Samosir misalnya, ada sebanyak 189 DCS yang lolos dari sebelumnya 213 yang mendaftarkan diri menjadi caleg. Hal ini menyiratkan bahwa menjadi calon legislatif menjadi fenomena di Indonesia. Lalu pertanyaannya, dari mana para caleg tersebut?

Caleg Dadakan
Idealnya, para caleg adalah para aktivis politik dan kader (intern) parpol yang sudah dan belum pernah menjadi anggota parlemen. Namun, faktanya?

Kita masih ingat betul dimana jelang pendaftaran calon legislatif, sejumlah partai disibukkan dengan perekrutan. Ada yang melakukan perekrutan lewat undangan terbuka ke publik agar mendaftarkan diri sebagai caleg dari partainya. Kemudian, mereka melakukan filter, siapa-siapa yang layak diusung sebagai caleg pada pemilu 2019.

Dengan demikian yang terjadi adalah mereka yang bukan aktivis politik dan kader (intern) parpol bisa menjadi caleg. Serta tak terbantahkan adalah para caleg tersebut, malah jadi faktor utama harus memiliki dana atau uang yang cukup.

Akibatnya bermunculanlah caleg dadakan atau adanya caleg yang minim pengetahuan serta wawasan politik, pendidikan pas-pasan, tidak pernah terlihat di area advokasi publik, dan sejenis dengan itu. Juga, caleg dengan latar artis, popularitas, pengangguran, dan lain sebagainya.

Mereka, ramai-ramai mencoba peruntungan di pemilu dengan harapan terpilih (dan dipilih) sebagai anggota parlemen. Bahkan ada yang dipaksakan menjadi caleg hanya untuk memenuhi kuota keterwakilan perempuan serta dicalonkan untuk mendongkrak perolehan suara partai dan membantu melenggangkan oknum caleg tertentu di partai tersebut menuju parlemen.

Perekrutan seperti diatas menunjukkan tidak jalannya pengkaderan di partai. Kondisi ini memperlihatkan bagaimana kaderisasi di parpol yang dilakukan secara asal-asalan sehingga parpol tidak siap dengan figur-figur yang akan dicalonkan.

Bayangkan jabatan wakil rakyat diserahkan begitu saja kepada orang yang kebetulan tenar lalu diusung menjadi caleg oleh partai. Apa yang bisa diharapkan soal kinerja parlemen di tangan mereka?

Lalu, jika tanpa persiapan kaderisasi di parpol, hampir pasti para caleg tersebut juga tak paham dengan ideologi. Itu artinya mereka menjadi pemain bebas yang hanya mengandalkan popularitas, uang tanpa visi kebangsaan yang diperjuangkan melalui ideologi partai.

Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan karena para caleg atau anggota dewan dari hasil rekrutmen dadakan akan menjadi politisi yang tanpa roh, tanpa semangat hakiki sebagai wakil rakyat.

Caleg yang bekerja minim ideologi ini akan menjadi sangat pragmatis. Mereka akan sangat berpotensi terjebak dalam permainan politik kotor, permainan anggaran, korupsi, dan lain-lain.

Atau dengan kata lain, lahirnya politikus karbitan akan berimplikasi pada produk legislasi yang kurang mutu. Atau bahkan kita akan melihat anggota dewan yang sunyi-senyap di gedung parlemen tapi sibuk serta cerewet di area bisnis, proyek, hiburan, jalan-jalan, piknik, dan lain sebagainya.

Selain fenomena diatas, saat ini juga lagi trend munculnya caleg-caleg perempuan. Di Kabupaten Samosir sendiri, dari 189 Daftar Calon Sementara, ada sebanyak 74 caleg bergender perempuan.

Di satu sisi kita tentu mengapresiasi kalangan perempuan yang turut meramaikan pesta lima tahunan ini. Dan sangat mendukung jika majunya mereka untuk membawa aspirasi perempuan dan lainnya ke gedung parlemen.

Namun sangat disayangkan bila ternyata para caleg perempuan tersebut hanya semata-mata untuk memenuhi syarat saja agar partai tersebut lolos verifikasi. Jika hal ini yang mendasari untuk menjadi caleg sehingga yang terjadi nantinya perempuan yang terdaftar sebagai caleg mayoritas hanya sebagai "pelengkap penderitaan."

Mengapa dikatakan begitu karena mereka tak akan mampu berbuat banyak. Jangankan untuk jadi pemenang, sumbangan suara untuk partai juga tak bertambah signifikan. Calon yang dipaksakan seperti ini tidak akan bergerak untuk meraup suara.

Pragmatisme Masyarakat
Kembali ke caleg dadakan, selain karena ketidakjalanan pengkaderan di sebuah partai, kita juga harus menyadari bahwa munculnya caleg dadakan bisa jadi disebabkan karena memang masyarakat sendiri pun masih cenderung pragmatis dalam menggunakan hak suaranya.

Masih banyak masyarakat datang menghadiri sosialisasi seorang caleg yang seharusnya bertujuan untuk mendengar visi misi dan program kerja si caleg tersebut justru motivasinya lain yakni untuk mendapatkan sesuatu bisa berupa uang transport dari si caleg.

Pragmatisme ini tentunya akan semakin meruncing jika para caleg justru memanfaatkan situasi ini dengan berlindung dibalik argumen mengganti biaya transport dan uang makan untuk membayar kehadiran mereka saat sosialisasi. Cara berpikir yang semakin sederhana; datang dibayar, nyoblos juga di bayar.

Betapa besar tantangan yang dihadapi oleh penyelenggara maupun pengawas pemilihan umum serta golongan masyarakat yang peduli untuk mewujudkan pemilu yang bersih. Perjuangan memberantas money politic bukan hanya tentang regulasi dan penegakan aturan untuk membatasi ruang gerak para caleg melakukan praktek-praktek tersebut.

Bahkan kampanye massive untuk menggiatkan anti money politic pun belum tentu cukup. Serta mengusulkan agar calon legisltif harus melalui pengkaderan partai atau dengan mensyaratakan agar calon legislatif harus memilki kartu tanda anggota di partai tersebut dalam jangka waktu tertentu pun belum tentu efektif.

Masalahnya adalah menghilangkan money politic dan lain sebagainya sama dengan memerangi pragmatisme masyarakat yang ujung-ujungnya terkait erat dengan usaha-usaha peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat sehingga motivasi menggunakan hak suaranya tidak lagi karena embel-embel ini itu tapi demi perbaikan demokrasi dan kesejahteraan masyarakat kedepan. Lantas, kapan hal ini akan terwujud? Entahlah!!!

SUARA TOBA/SBS.