Masyarakat Desa Aek Sipitudai Sianjurmulamula Unjuk Rasa Menolak SK 579 -->

Masyarakat Desa Aek Sipitudai Sianjurmulamula Unjuk Rasa Menolak SK 579

Suriono Brandoi
Selasa, 31 Juli 2018
Masyarakat Desa Aek Sipitudai Sianjurmulamula saat berangkat menuju Kantor Bupati Samosir.

Samosir(ST)
Seminggu setelah masyarakat Desa Tanjung Bunga menyatakan sikap menolak SK 579 Kemenhut yang mengklaim banyak tanah adat/ulayat di Kabupaten Samosir sebagai kawasan hutan. Hari ini, Selasa, 31 Juli 2018, ratusan masyarakat Desa Aek Sipitudai, Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir juga menggelar unjuk rasa ke Kantor DPRD Samosir dan Kantor Bupati Samosir guna memperjuangkan tanah leluhurnya.

Aksi unjuk rasa ini didasari atas pematokan tapal batas kawasan hutan di sejumlah titik di wilayah adat Desa Aek Sipitudai, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir oleh Balai Pengelolaan Tata Batas Hutan Provinsi Sumatera Utara.

"SK 579 Tahun 2014 tidak pro rakyat. Kami menilai tindakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini merupakan pencaplokan sepihak yang mengklaim tanah leluhur Bangsa Batak masuk hutan milik negara. Sehingga kami menyatakan sikap untuk menolak SK Menhut No. 579 tahun 2014," kata perwakilan masyarakat, Aliman Tua Limbong.
Sebelumnya, banyak tanah adat/ulayat di Kabupaten Samosir masuk kawasan hutan register 579. Di lapangan para pemilik tanah adat/ perkampungan tidak tahu ada perubahan fungsi tanah tersebut.

Eksekusi SK 579/2014 itu baru dilakukan oleh kantor Balai Pengelolaan Tata Batas Hutan Provinsi Sumut khususnya di kampung si Raja Batak Pusuk Buhit pada bulan Nov 2017, dengan memasang pilar yang isi redaksinya, "Hutan Lindung milik Negara," di wilayah perkampungan masyarakat.

Lalu bulan Maret 2018 pemkab Samosir mulai mensosialisasikan TORA (Tanah Obyek Reforma Agraria) dimana dalam TORA tersebut Kabupaten Samosir mendapatkan hak perolehan tanah 12 ribu ha yang diambil dari Hutan Lindung dan APL.
"Sebenarnya TORA ini sangat bagus bagi warga yang mengarap tanah di dalam HL dan APL karena akan mendapatkan surat ijin dari negara. Tapi bukan untuk tanah leluhur kami. Karena kami tidak merambah hutan," jelas Aliman Tua Limbong.

Proyek TORA yang 12 ribu Ha tersebut, lanjutnya semestinya posisinya berada di luar tanah hak ulayat/diluar area parhutaan, diluar area pertanian milik warga. Namun yang terjadi tidak seperti itu, karena SK 579/2014 yang dibuat Kemenhut RI telah memasukkan tanah hak ulayat, perkampungan, area pertanian milik warga desa sebagai HL/Tanah Negara dan tanah yang dalam SK itu pula yang diproses pemkab dengan TORA.

"Seharusnya pemerintah kabupaten Samosir menolak SK Kemenhut ini agar semua tanah ulayat parhutaan dan area pertanian dikeluarkan dari SK 579. Sehingga kami meminta sikap DPRD dan Pemerintah Kabupaten Samosir untuk memperjuangkan tanah adat/ulayat dari klaim kawasan hutan," tutup Aliman Tua.


SUARA TOBA/SBS.