Jejak Yang Tak Sempat Ku Hapus -->

Jejak Yang Tak Sempat Ku Hapus

Suriono Brandoi
Rabu, 01 Agustus 2018
Ilustrasi
OLEH: SURYONO B. SIRINGORINGO, SE. 
Lama aku tafakur memandangi sosok yang memenuhi halaman surat kabar yang aku baca. Ia dengan jas kebesarannya itu, akhir-akhir ini semakin banyak menghiasi pemberitaan surat kabar seolah-olah ia adalah pakar setiap bidang ilmu. Di satu surat kabar ia membicarakan politik kerakyatan, kemudian di koran lain ia bahas permasalahan pidana pencucian uang, padahal lewat cerita ayah dulu, ia bahkan meraih gelar sarjana lewat membeli paket di sebuah universitas yang memperjualbelikan pendidikan.
 
Sebut saja namanya Togap. Ia saudara laki-laki dari ibuku. Saat ayah dan ibuku menikah, ia masih sering kencing di celana dan belum becus membersihkan lelehan air liurnya sendiri namun kini ia menjadi orang hebat di kampung kami. Aku memanggilnya “Tulang”.
 
Namun sebelum ia menggapai tangga kesuksesan, masih ingat di benakku bagaimana dulu ia tinggal bersama kami di rumah kecil kami. Dulu sekali saat ia masih bukan siapa-siapa. Saat itu, ia belum sedikit pun memiliki bakat sebagai politisi. Ia lebih suka menyanyi lagu-lagu Batak di panggung-panggung pesta pernikahan. Diundang tak diundang dia bersama trionya tetap datang. Menggeber beberapa lagu hingga tengah malam.
 
Ia masih sontoloyo, pengganguran dan berstatus panglima lajang tua atau disingkat panglatu. Ia lebih sering menghabiskan waktu di kedai tuak dari pagi hingga larut malam. Bangun pagi, ia langsung memesan segelas tuak lantas duduk seharian mengutak-atik kode togel. Aktivitas ini dilakukannya dengan setia, meski sepengetahuanku, sepanjang kariernya sebagai pembeli togel, tebakan Tulang hampir selalu meleset.
 
Sialnya, uang yang ia pergunakan untuk membeli togel tersebut adalah pemberian ibuku yang hampir setiap hari ia minta. Tak hanya itu, semua keperluannya masih dibiayai ibuku.
 
Namun kini, entah sudah ditakdirkan sukses, ia membuat lompatan-lompatan menakjubkan. Karier Tulang melesat macam meteor. Bermula dari dorongan rekan-rekan sepermainannya di kedai tuak, dengan terpaksa ia mengikuti pemilihan kepala lorong dan menang. Padahal saingannya punya latar belakang intelektual lebih menyakinkan. Sebelum pensiun, saingan Tulang menjabat sebagai kepala seksi di dinas pertanian kabupaten.
 
Kira-kira tiga bulan berselang, Tulang kembali memenangkan kursi ketua salah satu organisasi kepemudaan tingkat kecamatan. Walau sudah lama jadi anggota, ia tidak pernah masuk jajaran kepengurusan. Ia lebih suka keluyuran di lapangan. Mengenakan seragam kebesaran organisasi kepemudaan untuk gaya-gayaan. Tiap menjelang 17 agustus, berbekal selembar proposal dan sebotol kamput sekadar untuk di kumur-kumur, ia dan kelompoknya beredar untuk meminta sumbangan.
 
Belum lama berselang, ia sudah melangkah lebih jauh. Ia masuk partai politik paling berkuasa. Tak butuh waktu lama, satu tempat di gedung DPRD Tingkat II berhasil pula ia dapatkan. Seiring itu jabatannya di kepengurusan partai ikut naik. Dari sekadar pengurus kelas recehan, ia mendapat posisi penting di jajaran dewan pimpinan daerah.
 
Lonjakan kariernya yang menakjubkan itu, gaya hidupnya pun ikut berubah. Tulang tak pernah lagi ber-trio bersama teman-temannya di pesta-pesta pernikahan. Ia bahkan jarang hadir meski diundang dan lebih suka mengirim karangan bunga. Kemana-mana, selalu berjas, bersafari, kemejanya bersetrika licin, dibebat dasi. Sesekali memakai batik dalam rangka menunjukkan semangat nasionalisme.
 
Bahkan ia tidak lagi tinggal bersama kami. Bersama istri yang baru ia nikahi, ia menempati rumah mewah yang lengkap dengan pengawal-pengawalnya. Semenjak itu, ia sudah jarang mengunjungi kami. Ibarat kacang lupa kulitnya, sungguh, aku tak percaya! ia sedang jaya-jayanya ketika ibuku yang dulu sering ia panggil kakak datang menemui ke rumahnya justru ia menyuruh pengawal-pengawalnya menyingkirkannya.
 
Ibuku pun menangis berhari-hari. Menyesal telah membiayainya selama ini dan mendukungnya dalam pemilihan legislatif tahun lalu. Kami kira janji-janji itu benar, kami bisa bersekolah dengan murah, makan tiga kali sehari, menjadi pesakitan tanpa takut mati atau setidaknya karya kami dihargai.

***
Tulang memang sudah benar-benar berubah. Ia melupakan semua kebaikan yang pernah kami perbuat kepadanya. Bahkan, sebagai pejabat publik, ia juga tidak memperdulikan aspirasi rakyatnya. Manakala melihat anak-anak bayi menangis kelaparan, orang tua penuh derita mengais rejeki dari onggokan sampah, ia tak tersentuh sedikit pun.
 
Janji-janji politik yang pernah ia ucapkan kala berkampanye dulu pun tidak ia tepati. Baginya, janji adalah janji yang bisa ia langgar sepenuh hatinya. Mata dan telinga telah ia tutup untuk rakyatnya. Ia hanya sibuk menghitung komisi proyek pemerintah sambil mengebulkan asap rokok di ruang-ruang karaoke. Ia hanya akan tersentuh dengan gelimangan harta, pesta pora, jabatan dan sanjungan.
 
Suatu waktu aku pernah melihat Tulang tertawa terbahak sampai air liurnya muncrat ke kamera para wartawan. Perutnya mengeluarkan kentut busuk ke seluruh penjuru rumah dinasnya yang agung. Tak satupun berani menutup hidung. Ia dan bualan konyolnya adalah harga mahal jika diabadikan di atas kertas atau ditayangkan berulang kali melebihi gosip selebriti.
 
Kulihat ia sekali lagi, dengan bibir miring ke kiri melirik jam tangan keluaran luar negeri yang nominalnya saja bisa membuat seorang gadis menjual harga diri. Membuat seorang ayah menggadai anaknya sendiri dan mampu membuat seorang pejabat menandatangani proposal fiktif buatan sendiri.
 
“Ah, saya ada rapat sebentar lagi, sampai di sini dulu ya, hahaha!” aku tak mengerti apa yang ia tertawakan. Apakah lontaran tanya pers yang menggantung di udara ataukah peluh mereka yang berjatuhan sia-sia. Aku sangat berharap, ia menertawai dirinya sendiri yang mulai kehabisan alibi atas kesengsaraan kami.
 
Terakhir kali aku mendengar kabar angin tentang Tulang, keluarganya telah mencapai titik kehancuran. Istrinya berselingkuh dengan supirnya seperti dirinya yang meniduri sekretaris pribadinya.
 
Dan pagi ini, sebuah berita tiba-tiba saja menjadi isu utama yang dibahas di semua media massa. Berita semakin gempar karena tentang salah satu kandidat pilkada bulan depan. Dia, laki-laki yang pernah kupanggil Tulang, yang pernah menemaniku bermain kelereng di halaman, yang membelikan kami jajanan dan es cendol kesukaan, terpanggang di atas mobil mewah terbarunya.
 
Mobil yang kemungkinan besar ia dengan mengambil alih hak anak-anak yang sedang menggelandang. Hak para guru honorer yang air ludahnya hampir mengering. Uang yang harusnya menjadi jatah bayi-bayi kurang asam folat yang tergeletak di atas kasur apek dengan kepala yang terus membesar. Begitulah surat kabar memberitakan.
 
Aku menelan ludah berkali-kali. Bukan karena bangkai tubuh gosong yang tersorot kamera. Bukan pula karena tangisan dari istrinya yang meraung sadis padahal kepura-puraan bertahta di balik kaca mata hitamnya. Aku hanya takut ada jejakku yang tertinggal di garasi rumahnya. Jejak yang mungkin tak sempat kuhapus semalam.

SUARA TOBA.