![]() |
Merayakan kemerdekaan dengan kecemasan atas klaim kawasan hutan di tanah Ulayat Desa Tanjung Bunga. |
Samosir(ST)
Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!!
Sebuah kata yang akhir-akhir ini akan disemarakkan di seluruh pelosok negeri ini. Sebuah kata yang mewakili perasaan kita sebagai bangsa Indonesia untuk terlepas dari berbagai bentuk penjajahan, yang akan kita gemakan pada Hari Kemerdekaan Nasional Indonesia ke 73 tahun di 17 Agustus 2018 yang akan datang.
Ketika mendengar kata merdeka, saya menjadi teringat 73 tahun yang lalu saat Indonesia menyatakan kemerdekaan dari jajahan bangsa asing. Presiden pertama Indonesia, Soekarno, mengatakan negara ini tidak lagi terikat dengan apapun juga.
"Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah-air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka," demikian ucapan Bung Karno dalam pidato kemerdekaan, seperti dikutip dari Kapita Selekta, Seri Pertama, Buku I.
Sebagian dari kita akan berpikir bahwa merdeka itu adalah terlepas dari penjajah, terlepas dari segala bentuk peperangan. Kebebasan? Ya. Kemerdekaan memang berkaitan dengan kebebasan. Lantas dalam benak saya muncul, sudahkah saya merdeka, sudah sejauh mana saya memaknai kemerdekaan, atau jangan-jangan kemerdekaan yang saya rasakan hanyalah semu semata?
![]() |
Patok-patok klaim kawasan hutan yang tak bernyawa menjadi saksi bisa bahwa kami belum merdeka. |
Merdeka Bukan Hanya Formalitas
Kita memang merdeka dari peperangan dan penjajahan bangsa asing, namun kemerdekaan dalam arti sebenarnya jangan selalu diidentikkan dengan secarik kertas “teks proklamasi”. Bahkan kemerdekaan juga bukan hanya tentang mengibarkan bendera di lapangan, di dalam laut, di puncak gunung (seperti yang sering dilakukan setiap tahunnya). Mengapa?
Karena kemerdekaan bukan sebuah formalitas untuk mengibarkan bendera merah putih jika arti merdeka yang sebenarnya tidak dapat dipraktikan. Sadarkah kita bahwa ternyata perkembangan zaman dan kehidupan sosial telah merubah arti Kemerdekaan bangsa Indonesia.
Kita belum merdeka secara politik. Kita belum merdeka dalam hukum dan keadilan. Kita belum merdeka dalam ekonomi. Kita belum merdeka secara budaya. Kita belum merdeka di hampir semua bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Jika dulu yang menjajah kita adalah bangsa asing yang tergiur dengan berlimpahnya sumber daya alam yang kita miliki, kenyataan yang terjadi sekarang adalah kita dijajah oleh orang-orang kita sendiri.
![]() |
Masyarakat Desa Tanjung Bunga, Kabupaten Samosir saat unjuk rasa ke Kantor DPRD Samosir. |
Seperti yang dialami sebagian besar masyarakat Samosir saat ini. Contohnya, masyarakat Adat/Ulayat Desa Tanjung Bunga. Mereka saat ini dijajah oleh SK 579 Kemenhut 2014 tentang Kawasan Hutan di Sumatera Utara yang mengklaim semua tanah adatnya sebagai kawasan hutan milik negara.
Kami Belum Merdeka
Cemas kerap mendera Masyarakat Desa Tanjung Bunga, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir demi mempertahankan tanah ulayat mereka yang sejak dahulu sebelum merdeka telah turun temurun dihuni nenek moyang mereka.
Khawatir mengelola tanahnya sendiri yang sudah diklaim sebagai kawasan hutan yang sewaktu-waktu bisa memicu konflik di masa mendatang. Cemas akan munculnya investor-investor yang bisa jadi kelak berkongkalikong dengan penguasa untuk merebut tanah adat mereka yang diklaim sebagai kawasan hutan.
Warga kehilangan ketenangan hidup berladang, bertani, dan memanfaatkan hasil lahannya bagi kehidupan mereka. Hal ini dikatakan salah satu masyarakat tanah Ulayat Desa Tanjung Bunga, Bachtiar Uji Simalango. Ia mengatakan, hal ini merupakan berkah sejak nenek moyang mereka.
"Sejak pematokan oleh Kemenhut melalui Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, semua berubah. Warga tak tenang. Mereka merasa dibiarkan sendiri memperjuangkan hak-hak atas tanah dan penghidupannya. Kami menggugat dengan mempertanyakan kemerdekaan apa yang diberi pemerintah bagi hidup warga adat Desa Tanjung Bunga," katanya.
Sebelumnya, Masyarakat Desa Tanjung Bunga mengetahui wilayahnya diklaim sebagai kawasan hutan pada awal tahun 2018 lalu saat pegawai Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara mematok tapal batas kawasan hutan di sejumlah titik di Desa Tanjung Bunga. Juga melalui sosialisasi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang digelar Pemerintah Desa Tanjung Bunga pada Minggu, 8 April 2018 lalu yang berujung penolakan dari masyarakat.
“Atas dasar apa Kementerian Kehutanan mengklaim Desa Tanjung Bunga sebagai kawasan hutan?. Desa Tanjung Bunga merupakan tanah adat yang sudah sejak dahulu bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia, dihuni oleh nenek moyang kami. Kenapa sekarang malah dikatakan kawasan hutan?,” kata Mangapar Nadeak, tokoh adat Masyarakat Desa Tanjung Bunga kala itu.
Puncaknya, pada hari Selasa, 24 Juli 2018, sekitar seribuan masyarakat Adat Desa Tanjung Bunga menggelar unjuk rasa ke Kantor DPRD Samosir dan Kantor Bupati Samosir terkait pematokan tapal batas kawasan hutan di sejumlah titik di wilayah Desa Tanjung Bunga, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara pada awal tahun 2018 lalu.
Pematokan itu berpedoman dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK 579/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan di Sumatera Utara yang diklaim seluas 3.055.795 Ha. Dimana dari 70.708,39 Ha wilayah Kabupaten Samosir yang diklaim sebagai kawasan hutan, sepenuhnya wilayah Desa Tanjung Bunga termasuk di dalamnya.
"SK 579 Tahun 2014 tidak pro rakyat. Kami menilai tindakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini merupakan pencaplokan sepihak yang mengklaim tanah adat kami, Desa Tanjung Bunga masuk hutan milik negara. Sehingga kami Perkumpulan Masyarakat Adat Desa Tanjung Bunga menyatakan sikap untuk menolak SK Menhut No. 579 tahun 2014," kata perwakilan masyarakat, Bachtiar Uji Simalango.
Berikut pernyataan sikap dan tuntutan Perkumpulan Masyarakat Adat Desa Tanjung Bunga yang disampaikan salah satu tokoh adat desa Tanjung Bunga, Mangapar Nadeak. Yakni, mereka meminta Pemerintah Kabupaten Samosir dan DPRD Samosir agar berdiri bersama rakyat untuk turut berjuang menyelamatkan hak-hak tanah adat Desa Tanjung Bunga.
"Kami meminta Pemerintah Kabupaten Samosir agar sesegera mungkin meneguhkan Desa Tanjung Bunga sebagai tanah adat. Kami juga meminta Pemerintah Kabupaten Samosir bersama DPRD Samosir secepatnya mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI agar tanah adat kami yang dicaplok sebagai kawasan hutan melalui SK 579/2014 dilepaskan dari kawasan hutan secara utuh dan berkekuatan hukum tetap," kata Mangapar Nadeak.
Selain itu, mereka juga mendesak DPRD Kabupaten Samosir segera membentuk tim penanganan penyelesaian klaim Kemenhut atas sebagian besar tanah masyarakat dan tanah adat sebagai kawasan hutan.
Tuntutan itu disampaikan secara tertulis kepada Ketua DPRD Samosir dan Bupati Samosir saat unjuk rasa Perkumpulan Masyarakat Adat Desa Tanjung Bunga.
"Desa Tanjung Bunga bukan hutan. Bahkan kami tidak pernah merambah hutan. Jauh sebelum Indonesia Merdeka, Desa Tanjung Bunga sudah dihuni nenek moyang kami. Bahkan istri Sisingamangaraja yang boru Nadeak adalah putri dari Nagari Kenagarian Pangururan yang dulunya beribu kota Tanjung Bunga. Saya cucu Nagari Kenagarian Pangururan. Saya punya bukti bahwa Oppung saya sudah lama menempati Tanjung Bunga," jelas Mangapar Nadeak.
Sementara itu saat menyambut unjuk rasa masyarakat Desa Tanjung Bunga, Ketua DPRD Samosir, Rismawati Simarmata mengatakan dirinya mewakili seluruh anggota dewan, siap memfasilitasi dan mendukung agar masyarakat Desa Tanjung Bunga mendapatkan hak tanah adatnya.
"Posisi kami sebagai dewan perwakilan rakyat bukan berseberangan dengan rakyat, justru kami akan memfasilitasi masyarakat Desa Tanjung Bunga untuk mendapatkan hak-haknya," pungkas Rismawati kepada perwakilan masyarakat.
Menanggapi beberapa aspirasi masyarakat adat Tanjung Bunga, Bupati Samosir melalui Sekdakab. Samosir Jabiat Sagala mengatakan bahwa hak-hak tanah ulayat masyarakat adat harus dijungjung tinggi dan diperjuangkan. Pemerintah Kabupaten Samosir bersedia untuk memfasilitasi.
"Namun diminta kepada masyarakat agar tidak mempermasalahkan SK 579 / Menhut /2014, yang perlu dilakukan saat ini adalah mencari solusi dan berjuang bersama-sama untuk penyelesaian agar hak ulayat tersebut dapat kembali kepada masyarakat. Banyak pemasalahan yang muncul akibat SK 579/Menhut/2014, bukan hanya di Tanjung Bunga tapi juga di daerah lain di Kabupaten Samosir," kata Jabiat Sagala.
Ditambahkan, Pemkab Samosir akan mengindentifikasi tanah adat/ulayat yang ada secara keseluruhan untuk dibuat Surat Keputusan yang mencakup luas wilayah.
"SK tersebut akan digodok menjadi sebuah Perda yang mengatur pengakuan dan perlindungan tanah adat dan selanjutnya digunakan sebagai bahan untuk memperjuangkan tanah ulayat kepada pemerintah pusat. Pemerintah bersama DPRD pro rakyat, dan pada dasarnya Pemerintah Kabupaten Samosir akan memperjuangkan tanah masyarakat adat, untuk itu mari bekerjasama untuk menempuh mekanisme-mekanisme yang ada sesuai dengan peraturan yang ada," terang Jabiat Sagala.
Hal yang sama juga disampaikan Wakil Ketua DPRD Samosir, Jonner Simbolon. Menurutnya, persoalan SK yang dikeluarkan Kemenhut tahun 2014 lalu dimana untuk Sumatera Utara, dikeluarkan SK 579, saat ini telah menjadi polemik di sejumlah daerah. Sehingga Pemerintah Pusat mengeluarkan TORA sebagai solusi untuk mengeluarkan tanah masyarakat dari klaim kawasan hutan.
Ketua Komisi II DPRD Samosir, Nasib Simbolon menambahkan Perda Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat diharapkan menjadi solusi terakhir jika tanah ulayat masuk dalam SK 579/Menhut/2014.
"Kami meminta agar Pemerintah Kabupaten Samosir dan DPRD Samosir benar-benar serius dan bekerja menepati janjinya untuk membuatkan Perda yang mengatur hak-hak tanah Ulayat dan Adat. Kami akan mempersiapkan data-data yang dibutuhkan juga nantinya kami tagih keseriusan mereka," kata Bachtiar Uji Simalango.
Sepekan setelah aksi Desa Tanjung Bunga tersebut, masyarakat lainnya yakni masyarakat Desa Sipitu Dai dan Kelurahan Siogung-ogung melakukan aksi unjuk rasa yang sama menolak SK 579 Kemenhut tahun 2014.
Hari ini, 9 Agustus 2018, sudah hampir sebulan aksi-aksi unjuk rasa tersebut berlalu. Meski masyarakat sudah bisa bernafas lega atas janji para pejabat di Kabupaten Samosir yang akan turut memperjuangkan tanah leluhurnya lepas dari klaim kawasan hutan namun kecemasan masih menghampiri. Mereka masih was-was menunggu sejauh mana kinerja pemerintah dan DPRD setempat.
SUARA TOBA/SBS.