Perbedaan Jangan Lagi Pembeda -->

Perbedaan Jangan Lagi Pembeda

Suriono Brandoi
Jumat, 10 Agustus 2018
Nila Setetes yang Merusak Susu se-Nusantara
Suriono Brandoi Siringoringo 
SERINGKALI kita membaca dan melihat pemberitaan televisi tentang konflik-konflik yang berbau SARA. Sangat prihatin jika, dua orang saling bentrok gara-gara perbedaan paham, kemudian menyebar antar kelompok, desa, hingga membesar dalam wujud Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).

Kelompok ormas yang mengotak-ngotakkan diri dan menentang kelompok lain yang berbeda pandangan, baik wujud segitiga, segi enam, trapesium, jajaran genjang atau lingkaran. 

Tindakan anarkis berujung dengan kekerasan, aksi sweeping berakhir dengan bentrokan itu acapkali yang terlihat. Siapa yang kuat itu yang menang. Tak ubahnya dengan hukum rimba. 

Padahal manusia tercipta menganut hukum alam, siapa yang beradaptasi itu yang bertahan. Perbedaan adalah jawaban mengapa gesekan itu terjadi? Konsep evolusi yang kadang disalaharti dan terjemahkan.

Sekarang bukan lagi saatnya siapa yang kuat itu yang menang, tetapi siapa yang bisa beradaptasi itu yang akan bertahan. 

Konsep adaptasi, juga disalahartikan, dengan kompetisi dan antagonisme. Mengapa manusia eksis sampai saat ini? Karena ada sinergis yakni memaknai homo homini socius, semua manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan.

Konsep evolusi survival of the fittest seharusnya diterjemahkan dengan saling bersinergis satu dengan yang lain layaknya makhluk sosial agar semua bisa bertahan hidup.

Kita Satu Nenek Moyang
Percayakah kita dari satu nenek moyang yang sama? Percayakah kita berasal dari budaya yang sama? Percayakah kita adalah sekumpulan keluarga besar yang terpecar-pencar? 

Sebuah pertanyaan klasik yang dengan acapkali mudah kita jawab, namun tak mudah bagaimana menyikapinya.

Jika melihat filsafat Theologis, ada yang meyakini bahwa Adam dan Hawa adalah manusia pertama yang ditulis dalam kitab suci, dan kemudian beranakpinak. Maka jika hal tersebut diimani, terjawab sudah jika kita dari satu nenek moyang.

Sangat kompleks sekali dan rumit jika menulusuri sejarah masa silam.  Indonesia jika ditengok ke belakang dengan alur flash back, namun setidaknya kita yang menghuni bumi nusantara adalah satu nenek moyang.

Pertanyaan sekarang adalah, mengapa ada perbedaan? Yang acapkali menimbulkan gesekan, padahal satu nenek moyang dan satu keturuan yang bisa diasumsikan semua adalah saudara.

Jika masih percaya, mengimani dan mengaku kita dari satu nenek moyang, maka asumsi kita berasal dari satu budaya. Pola persebaran dan distribusi manusia ke pelosok penjuru dunia ribuan bahkan jutaan yang lalu dan oleh sebab bencana alam, banjir, gempa, pergeseran benua memisahkan satu dengan yang lainnya. 

Perpisahan secara geografis otomatis sebagai manusia yang tercipta untuk bisa beradaptasi akan segera membentuk budayanya sendiri-sendiri sebagai terjemahan kondisi lingkungan waktu itu.

Saudara kita yang dikutub sana, tak akan sama dengan saudara kita yang di gurun pasir, begitu juga kita yang ada di katulistiwa tak mungkin sama dengan yang disub tropis.

Begitu halnya dengan nusantara dari Sabang hingga Merauke, Alor sampai Talaud sebuah bentang alam dengan ribuan gugusan pulau besar dan kecil yang masing-masing adalah warna-warni budaya.

Dengan mudah mata kita menyebutkan; dari wajah Anda pasti dari Irian, dari logat kamu pasti dari Jawa, dari suara khas kamu pasti dari batak, dari warna kulit kamu pasti dari Manado? Sangat mudah bukan mengidentifikasi suara, bahasa, logat bahkan hingga warna kulit.

Fanatisme Ciptakan Primodialisme
Perbedaan budaya, karena adaptasi lingkungan geografis acapkali menimbulkan konflik horisontal. Semakin banyaknya populasi manusia, dan perkawinan silang menciptakan variasi-variasi yang diekspresikan dalam tubuh manusia.

Perbedaan warna kulit, bentuk wajah, rambut, mata, tinggi badan yang secara fisik adalah salah satu bentuk variasai gen. Sedangkan kebudayaan sebagai bentuk adapatasi terhadap lingkungan. Perbedaan-perbedaan yang sejak awal inilah yang acapkali menjadi ganjalan konflik yang berbau SARA.

Rasa memiliki yang cenderung fanatisme akan menciptakan kondisi primodialisme dan menjadi sensitif disaat ada gesekan dan pergolakan. Sangat mengerikan jika budaya tersebut yang sudah mendarah daging itu terciderai oleh sebuah konflik, tak jarang darah tertumpah dan nyawa melayang.

Efek domino juga akan timbul dan menggesek dan mengerakan budaya tempat lain, yang acapkali konflik akan semakin membesar.

Jika diamati, kapan kita rukun? Kapan kita akan hidup dalam keadaan nyaman tenteram jika selalu ada saja tetes-tetes konflik kecil yang membesar menjadi guyuran hujan pertikaian? Jawabannya saat Tuhan mengingatkan.

Berapa kali Tuhan mengingatkan lewat tragedi, bencana alam, dan saya yakin semua turun tangan layaknya homo homini socius. Saat semua sudah dalam keadaan homeostatis kembali muncul gesekan yang seharusnya tidak perlu.

Dalam warna yang sudah samar, tak ada lagi perbedaan warna, maka dicari-cari gelap terang, benar-salah, baik buruk untuk memunculkan konflik baru. Mengapa demikian, hukum rimbalah yang muncul selanjutnya.

Perbedaan Jangan Lagi Pembeda
Perbedaan kita hanyalah masalah bentang alam dari lebatnya hutan dan luasnya lautan, namun tetap dalam satu ikatan satu nenek moyang. Pancasila telah mempersatukan kita dalam perbedaan warna, untuk saling mengerti dan memahami perbedaan di antara kita. 

Sudah selayaknya jalinan dan untaian cinta tanah air bisa kita terjemahkan dalam wujud saling menghormati dan menghargai satu dengan yang lain.

Mampu mengendalikan diri dari setiap gesekan, melihat perbedaan secara bijaksana dan meredam emosi yang ada. Sadar kita dari satu nenek moyang yang artinya satu saudara dengan materi genetik yang identik.

Sehingga perbedaan kini bukan lagi pembeda, tetapi inventaris keanekaragaman yang tinggi dan harta kekayaan yang tak ternilai.

Bangga menjadi Indonesia, dari nenek moyang yang sama dengan beragam budaya yang berbeda, artinya peradaban kita jauh lebih bervariatif dan penuh warna. 

Tidak ada lagi perbedaan, perbedaan hanyalah masalah sudut pandang karena mereka harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. 

Berikan senyum untuk Indonesia, dan tunjukan perbedaan adalah perekat yang kuat untuk persatuan Indonesia, dan biarkan pelangi nusantara terus memberikan warna-warna indah. 

Karena kita sebagai bangsa timur yang konon dikenal ramah tamah, jangan sampai dinodai oleh keberingasan dan jiwa bar-bar seolah menjadi nila setetes yang merusak susu se nusantara.

(Tulisan ini pernah diterbitkan di Harian Medan Bisnis kolom Wacana, tahun 2012).

SUARA TOBA.