Oleh: Suriono Brandoi Siringoringo, SE
Satu tahun terakhir jelang pemilihan umum puncuk pimpinan tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, di berbagai media sosial utamanya facebook, semakin gencar-gencarnya "perang" berita hoax yang dilakukan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab lewat sebuah akun anonim.
Hadirnya oknum-oknum yang berpotensi memecah belah negeri ini menimbulkan pertanyaan dalam hati saya.
Apabila seorang benar-benar percaya akan sebuah demokrasi, atau memang secara nyata berusaha mewujudkan demokrasi yang baik akan berjalan, kenapa mesti sembunyi dibalik akun anonim?
Bagaimana bisa melihat secara utuh kemana arah dan tujuan si akun anonim tersebut saat masih berlindung nyaman dibalik akun lain?
Terlebih, saat memang secara spesial menciptakan akun tertentu hanya untuk menyerang suatu keyakinan, ras, lawan politik atau yang lainnya yang tidak sependapat.
Tapi memang harus diakui bahwa belakang ini demokrasi, dan kebebasan mengeluarkan pendapat semakin disalah artikan dengan ‘bebas sebebas bebasnya mau ngomong apa saja’.
Disatu sisi, ada kebenaran disana. Di sisi yang lain? Setiap pendapat pun harus berdasar, dan tidak sekadar asal njeplak saja.
Parahnya, kita malah seringkali berlindung dibalik sebuah akun yang mensamarkan identitas diri kita. Apakah ini bisa dibilang bertanggung jawab?
Inilah yang disebut salah kaprah tentang idiom ” Yang penting tulisannya, bukan siapa yang menulisnya”.
Saat seseorang menuliskan, mengeluarkan pendapat tentang sesuatu yang sangat tendensius apalagi menjurus fitnah dan masih berlindung di sebuah akun yang tidak jelas dan tidak berbentuk, maka sebetulnya dia pun sedang berkhianat dibalik arti kata demokrasi itu sendiri.
SUARA TOBA.
Satu tahun terakhir jelang pemilihan umum puncuk pimpinan tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, di berbagai media sosial utamanya facebook, semakin gencar-gencarnya "perang" berita hoax yang dilakukan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab lewat sebuah akun anonim.
Hadirnya oknum-oknum yang berpotensi memecah belah negeri ini menimbulkan pertanyaan dalam hati saya.
Apabila seorang benar-benar percaya akan sebuah demokrasi, atau memang secara nyata berusaha mewujudkan demokrasi yang baik akan berjalan, kenapa mesti sembunyi dibalik akun anonim?
Bagaimana bisa melihat secara utuh kemana arah dan tujuan si akun anonim tersebut saat masih berlindung nyaman dibalik akun lain?
Terlebih, saat memang secara spesial menciptakan akun tertentu hanya untuk menyerang suatu keyakinan, ras, lawan politik atau yang lainnya yang tidak sependapat.
Tapi memang harus diakui bahwa belakang ini demokrasi, dan kebebasan mengeluarkan pendapat semakin disalah artikan dengan ‘bebas sebebas bebasnya mau ngomong apa saja’.
Disatu sisi, ada kebenaran disana. Di sisi yang lain? Setiap pendapat pun harus berdasar, dan tidak sekadar asal njeplak saja.
Parahnya, kita malah seringkali berlindung dibalik sebuah akun yang mensamarkan identitas diri kita. Apakah ini bisa dibilang bertanggung jawab?
Inilah yang disebut salah kaprah tentang idiom ” Yang penting tulisannya, bukan siapa yang menulisnya”.
Saat seseorang menuliskan, mengeluarkan pendapat tentang sesuatu yang sangat tendensius apalagi menjurus fitnah dan masih berlindung di sebuah akun yang tidak jelas dan tidak berbentuk, maka sebetulnya dia pun sedang berkhianat dibalik arti kata demokrasi itu sendiri.
SUARA TOBA.