Mengembangkan Desa Bukan Dengan Modernitas Perkotaan -->

Mengembangkan Desa Bukan Dengan Modernitas Perkotaan

Suriono Brandoi
Selasa, 25 September 2018
Desa Penglipuran Di Bali.
Desa adalah miniature sebuah negara. Jika desa berkarya maka negara pun berjaya tapi jika desa sengsara maka negara pun merana. Kondisi desa adalah cerminan dari sebuah negara.
Oleh: Suriono Brandoi Siringoringo, SE
Ketika berbicara soal desa dan kemiskinan di sekitarnya, kita terkadang memosisikan diri sebagai orang yang menganggap desa sebagai lokus kemiskinan dan ketertinggalan, yang oleh karenanya harus dientaskan dengan konsep dari kota.

Sehingga, seakan-akan kita adalah orang kota yang modern dan terdidik, bukan orang desa yang dikesankan kuno, tradisional dan bahkan dianggap terbelakang.

Akibatnya, muncul berbagai macam ideologi yang kebanyakan para ahlinya berwawasan luas dan berpendidikan tinggi, kebanyakan para ahli ini lebih dipercaya di mata masyarakat adalah para ahli yang mempunyai latar belakang pendidikan dari kota.

Rakyat pedesaan menerima ideologi ini sebagai cita-cita kehidupan sejahtera (datang dari impian kota). Masyarakat desa terus-menerus diceritakan kebahagiaan kesejahteraan yang datang dari kota melalui pembangunan.

Dampak dari ideologi yang datang dari kota tersebut adalah nilai-nilai desa yang semakin hilang tergusur oleh pembangunan dan pengembangan sumberdaya di desa, maka seringlah muncul dilema-dilema di masyarakat desa yang mimpinnya mendapatkan kesejahteraan malah semakin bertolak belakang seiring dengan berkembangnya zaman globalisasi. 

Modernitas Perkotaan
Membangun desa pada realitanya sekarang semakin melengserkan pengertian desa dan nilai-nilai desa yang sesungguhnya. Berbagai wilayah-wilayah pembangunan di Indonesia semakin redup nilai-nilai pedesaannya.

Penebangan hutan secara besar-besaran demi memperluas wilayah pembangunan, industri-industri yang dikelola pihak asing ataupun pemerintah menancapkan kuku-kukunya menggali kekayaan alam yang berlimpah di Indonesia, wilayah-wilayah persawahan yang semakin dipersempit diganti dengan pabrik-pabrik.

Pembangunan di sana-sini tak pelak menimbulkan residu-residu pembangunan berupa masyarakat pedesaan yang termarjinalkan secara sosial maupun ekonomi. Para petani yang tadinya memiliki sawah banyak yang menjualnya karena adanya alih fungsi sawah (150.000 hektare/tahun) menjadi infrastriktur jalan maupun industri.

Adanya land grabbing serta himpitan ekonomi membuat makin banyak petani yang lahannya makin sempit bahkan tidak memiliki lahan yang selanjutnya kemiskinan pun menghinggapi mereka yang banyak bekerja di sektor pertanian.

Pemuda-pemuda desa juga memegang kepercayaan urbanisasi sebagai cita-cita kesejahteraan, membangun desa mereka ke arah kemajuan teknologi dan pendidikan yang berasal dari cermin sukses perkotaan adalah hal yang harus dicapai.

Bersawah pun dianggap tidak menyejahterakan kehidupan. Maka imajinasi membangun desa hanya akan melenyapkan nilai-nilai desa yang sebenarnya bila diproyeksikan oleh ideologi-ideologi kota.

Desa: Akar Masyarakat Indonesia
Entah anda setuju atau tidak, saya akan mengatakan bahwa sesungguhnya kita ini adalah orang desa, bukan orang kota. Disadari atau tidak, pada hakikatnya akar dari masyarakat Indonesia adalah masyarakat pedesaan.

Walaupun gedung-gedung megah telah terbangun di dalam kota, dan arus penduduk dari desa ke kota kian besar, tetap saja Indonesia adalah negeri yang dibentuk oleh sebuah nuansa pedesaan yang kental.

Desa tidak hanya kita maknai sebagai entitas fisik, sebagai satuan geografis-administratif yang memberi batasan pada masyarakatnya yang jauh dari kota, tetapi juga sebagai entitas sosial.

Desa adalah entitas yang menaungi tradisi masyarakat, hubungan sosial yang rekat, serta nuansa yang terikat penuh dengan alam. Desa adalah tempat untuk membangun ikatan sosial dengan begitu erat, yang kemudian diistilahkan oleh Robert Putnam sebagai "Modal Sosial."

Benar. Inilah desa. Masyarakat Indonesia pada hakikatnya adalah masyarakat desa yang berangkat dari kaki-kaki gunung, tepi-tepi pantai, hingga pinggir-pinggir hutan. Masyarakat Indonesia adalah komunitas yang merekat dalam nama "desa."

Apapun bahasanya, tetapi dengan kultur dan karakter serupa. Kita akan menemui masyarakat Indonesia di pesisir pantai utara jawa, di pedalaman gunung Meratus di Kalimantan, di kawasan adat Bali, di daerah Danau Toba di Sumut, bahkan hingga pegunungan Jaya Wijaya Papua.

Desa menjadi wajah dari rakyat Indonesia, dengan pelbagai keterbatasan dan kemampuan yang mereka miliki. Sehingga, menjadi tidak mungkin untuk memisahkan Indonesia dengan desa.

Sayangnya, Indonesia pada hari ini tengah didominasi oleh terma-terma kota. Seluruh mainset kebijakan didasarkan pada kota. Pembangunan desa sekarang diwacanakan dengan istilah konotatif: pembangunan daerah tertinggal.

Maknanya tentu bisa dibaca: desa diwacanakan sebagai daerah yang harus dibantu agar setara dengan apa yang disebut sebagai kota. Pada titik inilah ideologi mengembangkan sumber daya di desa sekali lagi telah terjerembab dalam ideologi yang datang dari kota.

Seharusnya ideologi mengembangkan desa, berasal dari masyarakat desa itu sendiri dalam artian rakyat desa yang betul-betul cinta akan desa dan kehidupan desa dengan mengutamakan nilai-nilai luhur desa, bukan mereka yang berusaha membangun dengan modernitas perkotaan. 

Akhir kata, desa adalah miniature sebuah negara. Jika desa berkarya maka negara pun berjaya tapi jika desa sengsara maka negara pun merana. Kondisi desa adalah cerminan dari sebuah negara. (Tulisan ini diterbitkan di Harian Medan Bisnis Kolom Wacana pada Rabu, 25 September 2013).

SUARA TOBA.