Kunjungan Terakhir Kenangan Masa Lalu -->

Kunjungan Terakhir Kenangan Masa Lalu

Suriono Brandoi
Kamis, 04 Oktober 2018
Ilustrasi.
“Horas! Sedini gini sudah pada nongkrong di warung kopi ya, masih ingat dengan aku?" tanya Bandroi mengarahkan jari telunjuknya ke wajahnya.

Seorang lelaki kurus bernama Abidin memandang dengan senyum terperangah pada seorang pria yang berada sekitar dua meter di depannya. Bersama dengan Maruli, tetangganya, ia tampak terpesona pada pria yang tengah melangkah mendekati mereka itu.

Sambil terburu-buru menyelesaikan tegukan terakhir kopinya, ia memukul-mukul pundak Maruli.

“Bandroi kan?” tanya Abidin menyenggol-nyenggol Maruli di sampingnya.

“Ido lae. Ini Maruli kan?”
Maruli berdiri, menyusul Abidin yang telah lebih dulu berdiri.

“Duduk Lae,” tawar Maruli sambil beringsut menggeser-geser Abidin, meluangkan kursi papan panjang yang mereka duduki.

“Wah, sekarang mainnya di warkop aja ya?”

“Ah, enggak juga. Maklum baru dapat gaji dari bos, Lae. Kalau enggak ya minum teh manis istri doang di rumah. Ha..ha..ha….”

“Ha..ha..ha. Istri tercinta, lae,” ledek Abidin.

“Mendingan aku daripada kau, panglima lajang tua! Ha..ha..ha….”

Bandroi tergelak. Maruli dan Abidin pun tergelak-gelak. Mereka tergelak bersama.

Pemilik warung mendeham. Maklum, sudah tiga jam lebih Abidin dan Maruli duduk di situ. Yang dipesan cuma satu gelas kopi ukuran besar dan dua buah roti kopong.

Sudah seperti biasanya, bagi lelaki paceklik sejati seperti Abidan dan Maruli, minum kopi adalah hal yang terencana. Karena begitu terencananya, mereka tak akan memesan dua gelas ukuran sedang seperti orang pada umumnya.

Bukan karena mereka tak terlalu doyan kopi, tapi alasannya semata karena penghematan, kata mereka. Satu porsi gelas sedang hanya berbeda seribu dengan satu porsi gelas besar.

Satu porsi gelas besar jika dibagi dua, sama massanya dengan dua porsi gelas sedang. Itulah kematangan berpikir alamiah mereka. Kematangan berpikir yang ditempa kesusahan, persisnya. Pemilik warung selalu menggerutu tiap kali mereka datang.

Sadar akan maksud sang pemilik warung, Abidin dan Maruli bergegas pergi.

“Ini bang,” ucap Maruli sambil menyodorkan uang lima ribu.

“Hei, mau ke mana? Aku belum minum.”

“Ke ladang. Ayo Lae!” ajak Abidin tanpa peduli ucapan Bandroi.

Mereka bertiga berjalan menuju ladang. Ladang yang akan dituju adalah warisan dari Pak Tobok, ayah Abidin. Sejak dulu, hidup keluarga Pak Tobok banyak bergantung pada hasil tanaman di ladangnya.

“Sudah berapa lama ya lae kita enggak jumpa? Gak nyangka ah, kau sudah jadi orang sekarang. Kaya, sekolahan, ganteng lagi.”

Bandroi tersenyum. Sejenak ia senang mendengar pujian itu. Tapi kemudian hatinya tersayat. Ia melirik kedua temannya. Teman masa kecilnya dulu.

Teman kampungnya yang memberinya banyak kenangan, bersama pohon-pohon dan hewan-hewan kampung. Di hadapannya, terlihat dua sosok lelaki yang dekil, kumal, ringkih digerogoti hari-hari dan pekerjaan yang berat-berat secara fisik, tentunya.

Dalam hatinya, ia masygul. Kenapa hidup kerap tak adil? atau, kalau memang hidup itu adil, kenapa keadilan selalu menjadi hal yang sulit diterima walau Tuhan telah mendengung-dengungkannya?

Lalu, kenapa keadilan sering cuma diukur dengan angka-angka? Berapa IPKmu? Berapa gajimu? Berapa usiamu sekarang? Ada berapa rumahmu? Mobilmu? Istrimu? Selingkuhmu? Dan berikutnya, dan seterusnya. Kenapa keadilan barang tiada di antara ia dan kawan-kawannya ini?

Ah, angka. Lagi-lagi orang menanyakan angka. Sambil tersenyum dengan berat, ia balas memuji kedua temannya, “Kalian juga makin ganteng. Makin keren!”

“Ah, itu namanya mengejek, Lae. Orang kering gosong kayak ikan asap gini dibilang keren!”

“Iya Lae. Jangan ngejek gitulah.”

“Iya, benaran. Aku tak ada maksud ngejek lho. Kalian memang sahabatku yang paling keren. Tentu versi aku,” ucap Bandroi cengengesan.

“Dasar orang kaya goblok! Edan!”

“Ha..ha..ha….”

“Ha…ha…ha….”

“Pohon-pohon sudah jarang ya. Gersang sekali kurasa.”

“Oalah Lae. Sudah pada ditebangi. Orang pada bangun rumah.”

“Pohon di hutan Tele pun sudah tidak ada lagi Lae,” sambung Maruli.

Bandroi menggeleng-geleng. Ia tampak menyesali. Kampung masa kecilnya kini sudah berubah hampir menyerupai lahan tandus.

Nyaris tak ada bedanya dengan kota Medan tempat kantor pusat di mana ia bekerja berada. Panas, sumpek, rumah-rumah semakin memadat. Selokan-selokan tak lagi mengalir.

****
Mereka tiba di ladang Abidin-ladang Pak Tobok dulu. Tak banyak yang berubah dengan ladang itu. Tetap hijau dipenuhi pohon kopi dan beberapa pohon pisang.

Abidin mengajak Maruli Bandroi masuk.

Mereka duduk. “Sebentar ya Lae. Kubuatkan kau teh manis.”

“Aku juga ya,” sahut Maruli.

“Ah, kau kan sudah minum kopi tadi.”

Maruli menggeleng. Bandroi tersenyum.

Abidin datang membawa segelas teh manis.

“Minum Lae.”

“Betul-betul tak kau buatkan aku?”

“Ah kau ini. Kau kan sudah hampir setiap hari kemari.”

Bandroi tersenyum melihat dua temannya cek-cok. Diteguknya teh manis itu. Uh, masih bau sabun, batinnya. Gelas itu tampak kotor dengan karat-karang cokelat yang belum hilang.

Di pertemuan itu, ia benar-benar ingin sekadar melepas rindunya. Ia lebih banyak bertanya. Ia tak ingin memberi kesempatan kepada temannya untuk bertanya tentang dirinya.

Tentang pekerjaannya, tepatnya. Menceritakan tentang pekerjaannya akan membuat kawan-kawannya itu minder. Maka ia terus bertanya.

Percakapan berlalu begitu cepat. Ruangan mulai gelap. Sinar mentari lamat-lamat pamit. Di luar, di ufuk barat, warna jingga di langit mulai redup. Bandroi merasa harus pamit.

Digenggamkannya dengan cepat lima lembar uang seratus ribu ke masing-masing tangan kawannya itu.

“Apa ini, Lae?”

Bandroi hanya tersenyum. Pertanyaan itu tak perlu dijawab.

“Banyak sekali ini, Lae.”

“Terima kasih banyak ya, Lae.”

Kedua kawannya itu memandanginya dengan haru. Bandroi juga terharu.

“Kampung kita ini sudah tak ramah lagi. Terlebih pemerintah pusat akan menguncurkan dana triliunan untuk pembangunan dan juga membentuk Badan Otorita untuk pengembangan pariwisata, tidak ada lagi tempat pertanian."

"Kusarankan kalian carilah tempat lain, tempat yang masih banyak pohonnya. Kalau nanti ada yang menawar dengan harga yang cocok, lepaslah tanah dan rumah ini, Aby. Dan kau juga Li, Maaf, aku tak sempat berkunjung ke rumahmu.”

“Tak apa Lae,” jawab Maruli dalam keadaan girang. Abidin pun girang hingga tak dapat mendengar kata-kata Bandroi karena masih dirundung uang kaget.

“Aku pamit ya. Sampai jumpa!”

***
“Trrrrrt..trrrrrrt….”
Telepon genggamnya bergetar. Sambil menyetir sebuah mobil Range Rover Sport hitam, ia mengangkat panggilan itu.

“Halo. Iya. Sudah. Bisa, bisa. Tak mengapa. Lagipula sudah terlalu gersang, kumuh lagi.”

Telepon dari kantor pusat di Medan. Bandroi menghela napas panjang. Di ujung keputusannya, ia masih teringat kembali masa silamnya.

Kunjungan tadi seakan menjadi pemutaran terakhir tentang masa-masa kecilnya. Tentang keasrian kampungnya.

Kini, ia punya misi besar. Targetnya bukan suatu kepolosan kanak-kanak dan masa indah itu, tapi kenangannya sendiri, kampungnya sendiri, dengan orientasi bisnis semata.

Kampungnya akan menjadi “korban” untuk sebuah mega-proyek pembangkit tenaga panas bumi di kecamatan tempat kampungnya berada.

Tercatat ada 5 desa yang akan dijadikan lahan untuk mega-proyek itu dan limbahnya akan mengalir ke Danau Toba. Sebagai pemimpin divisi location-prospect, Bandroi terpaksa menguatkan hatinya.(Oleh: Suriono Brandoi Siringoringo, SE).

SUARA TOBA.