![]() |
Ilustrasi. (Sumber: Kaskus). |
Oleh: Suryono Brandoi Siringo-ringo, SE. Komisi
Pemilihan Umum (KPU) telah menerbitkan peraturan perundang-undangan Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu juga Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum.
Kemudian, dalam Peraturan Bawaslu Nomor 28 Tahun 2018 Tentang Pengawasan Kampanye Pemilihan Umum.
Dengan demikian, masa kampanye pemilu presiden/wakil presiden, calon Legislatif (caleg) resmi berlaku mulai dari 23 September 2018-13 April 2019.
Selain itu juga telah ditetapkan lokasi dan tempat pemasangan iklan kampanye selayaknya pada ruang terbuka, pada gedung dan melalui iklan media cetak dan elektronik. Tidak dilakukan pada gedung pemerintah, sekolah, jalan protokol dan fasilitas umum.
Namun, apa daya entah terlalu bersemangat atau karena ikut-ikutan, bahkan parahnya mungkin karena tidak tahu aturan, masih banyak calon asal-asalan menempel atribut kampanye mereka pada tempat yang tidak semestinya.
Di Kabupaten Samosir misalnya, awal tahun 2019 lalu saat menertibkan alat peraga kampanye, Bawaslu dan KPU Samosir masih saja menemukan APK yang tidak sesuai aturan penempatannya.
Yang lebih parah, ada juga calon yang nekad memasang di pohon. Iklan sosok calon ukuran raksasa sampai ukuran kertas ketikan menghiasi sejumlah pohon di sepanjang jalan di mana-mana dari desa sampai kota.
Entah siapa yang pertama memulai, namun fenomena ini sering terjadi di seluruh Indonesia bahkan sangat masif menjelang pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah.
Anehnya, Iklan-iklan kampanye tersebut hanya makin menunjukkan betapa narsisnya para caleg maupun calon kepala daerah. Mereka hanya mempertontonkan foto-foto wajah yang kebanyakan tidak alami dan bahkan bukan merupakan kesehariaannya. Didandani sedemikian rupa agar terlihat menarik.
Tulisan-tulisan yang menyertainya juga hanya nomor dan slogan pendek, masyarakat tidak disuguhi informasi siapa mereka, apa kompetensinya, apa saja prestasinya yang telah dicapai dan apa visi, misi dan aksi mereka agar masyarakat bisa percaya.
Seolah mempertegas bahwa mereka merasa cukup hanya dengan memasang spanduk, iklan dan baliho narsis yang ditempel sembarangan, tidak peduli bila aksi mereka merusak estetika kota yang justru melahirkan antipati konstituennya. Pertanyaanya, sampai kapan tindakan buruk ini terus dipelihara?
Para calon ini yang kelak diantaranya akan terpilih menjadi wakil rakyat atau pemimpin tentu sudah semestinya dari awal harus menunjukkan tindakan yang tidak bertentangan dengan aturan sehingga kelak mereka bisa menjadi panutan.
Namun jika sebaliknya, jelas hal ini menunjukkan kualitas calon yang tidak paham dengan aturan atau bahkan parahnya sengaja melanggar aturan. Bisa jadi saat mereka berhasil menang dan menjabat, maka dalam melaksanakan tugasnya juga sesuka hati.
Akhir kata, sudah saatnya kita menghentikan tindakan mengorbankan pohon menjadi wadah pemasangan iklan kampanye. Sebuah harapan besar, pohon-pohon yang memberi layanan ekologis biarlah berfungsi sebagaimana mestinya tanpa harus menanggung beban promosi yang bersifat politis dan kapitalis.
SUARA TOBA/SBS.