Dewasa ini media tidak lagi dilihat sebagai sarana diseminasi informasi, melainkan telah digunakan sebagai cara untuk membentuk komunitas.
Media tidak lagi dipandang sebagai instrumen informasi untuk memenuhi kebutuhan individu melainkan sebagai ritual untuk membagi rasa saling memiliki.
Fenomena yang saya paparkan ini menjadi jawaban atas kesalahan besar media massa dalam memposisikan dirinya saat ini, di era demokrasi.
Banyak idealisme wartawan tercabik-cabik oleh cangkul eskavator kekuasaan yang berduet dengan pemodal atau pemilik media massa, mengeruk opini dan mengarahkan agenda publik kemana kepentingan bisnis dan politisnya berhembus.
Media massa sengaja memecah belah dirinya ke dalam polarisasi, menjadi salah satu pihak yang tidak netral. Jauh sudah meninggalkan jati diri sebagai anjing penggonggong ketika kafilah kemungkaran berlalu.
Banyak wartawan mati kutu. Mereka dihadapkan pada kekejaman alternatif yang disodorkan. Idealisme atau uang. Sebuah penghinaan oleh sombongnya dunia.
Itu bukan salah jurnalis sama sekali. Itu murni anak kandung yang lahir dari kawin silang demokrasi dan kapitalisme. Korbannya adalah rakyat itu sendiri. Seperti saya pribadi, saya tak bisa lagi tenang dalam menikmati pemberitaan televisi.
Mau tidak mau terpaksa harus mencurigai setiap berita yang tampil di layar kaca. Meskipun berita itu adalah tentang jutawan yang bagi-bagi angpau. Saya selalu bertanya-tanya ada apa di balik pemberitaan tersebut. Lebih lebih ketika suatu peristiwa selalu disorot sisi negatifnya saja, diulang-ulang tayangannya.
Saya juga selalu bertanya-tanya mengapa pula narasumber yang dibilang pakar itu selalu diminta komentarnya oleh media massa tertentu saja. Tidakkah pantas dicurigai kalau media massa itu sudah punya rencana tersembunyi di balik pemilihan narasumber?. Ini semua membuat neg dan mereduksi ekspektasi terhadap tiap karya jurnalistik.
Segeralah kembali ke jalan yang lurus, jalan yang diridhoi oleh masyarakat, dimana media massa diberi kekhususan oleh undang undang untuk mengelola asset publik antara lain berupa frekwensi dan ijin menyebarkan informasi secara massal.
Kembali ke judul, masih adakah yang namanya wartawan yg dulu disebut Kuli Tinta (karena menulis apa yang diinginkan pulpennya) ataukah yang ada hanya pekerja pers yang mengabdikan diri sepenuhnya pada majikan. (Abdul Karim).
Akhir kata, kebenaran dan kedamaian adalah dua hati yang terpaut pada simpul kebebasan. Untuk tegakkan kebenaran kadang harus korbankan kedamaian, untuk memelihara kedamaian kadang harus mengekang kebebasan.
Selamat Hari Pers Nasional. Negara yang memiliki pers yang sehat, akan mampu membangun demokrasinya dengan baik. Karena pers adalah pengusung suara kebenaran bukan hamba birokrasi ataupun kapitalisme. Dan dalam banyak hal seorang jurnalis terkadang harus berfikir sadis demi perubahan.
SUARA TOBA.