Terlena Dalam Romantisme Reformasi Semu -->

Terlena Dalam Romantisme Reformasi Semu

Suriono Brandoi
Minggu, 20 Oktober 2019
Ilustrasi.(Pelajaran.co.id).
Karya: Suryono Brandoi Siringoringo
21 Mei 1998 tepatnya 21 tahun yang lalu, merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia dimana pada saat itu bersamaan dengan berakhirnya rezim Soeharto lahirlah sebuah era baru yang disebut sebagai “Era Reformasi”.

Sebuah rezim yang diharapkan dapat membawa Indonesia menuju kondisi kesejahteraan yang lebih baik.

Sejarah Reformasi
Krisis moneter yang berkepanjangan yang melanda Bangsa Indonesia yang telah berlangsung sejak juli 1997 dimulai dari Thailand dan menyebar kebeberapa negara lain termasuk di Indonesia dan Korea Selatan. Krisis moneter tersebut berkembang menjadi krisis politik di dalam negeri.

Kepercayaan rakyat yang tadinya 100% kepada pemerintah Orde Baru mendadak menjadi perlawanan yang mengerikan.

Diawali dengan kesadaran kolektif dari kaum terpelajar mahasiswa dan kaum cendekiawan untuk memperbaiki bangsanya yang kemudian didukung rakyat. Lahirlah sebuah gerakan yang menuntut sebuah perubahan. Demonstrasi besar-besaran pun digelar diberbagai penjuru tanah air.

Demonstrasi yang dimulai sejak bulan Februari 1998, semakin marak dan berani. Puncak dari demonstrasi tersebut adalah terbunuhnya empat mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 karena peluru petugas.

Tragedi Trisakti ini mengobarkan semangat solidaritas pemuda lainnya di berbagai daerah. Tak ada sesuatu yang dapat menghaluskan sensitivitas, Indonesia geger dan mencekam.

Kerusuhan tidak dapat dihindari sebagai akibat dari terbunuhnya agen-agen perubahan tersebut dan pada puncaknya 13, 14, dan 15 Mei 1998 meletuslah kerusuhan massal di Jakarta yang disusul kerusuhan di daerah-daerah lain di Indonesia.

Melihat kondisi bangsa yang semakin kacau, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto membacakan pidato tentang pengunduran dirinya dan secara konstitusional memberikan jabatan presiden kepada Wakil Presiden B. J. Habibie.

Dari pemerintahan Presiden Habibie inilah kemudian reformasi digulirkan dengan agenda-agenda perbaikan di berbagai bidang kehidupan berbangsa baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan, maupun pertahanan dan keamanan.

Indonesia masih bermimpi
Semua rakyat berbangga dengan sebuah perubahan, yang dinamakan reformasi. Meski harus banyak jatuh korban dan harta terbuang, nafsu untuk perubahan yang lebih baik begitu membahana.

Ada sebuah harapan baru untuk Indonesia yang lebih bersahabat dan bermartabat. Rakyat menginginkan untuk segera hidup sejahtera dan berkeadilan seutuhnya. Mimpi tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi sebuah keniscayaan.

Penghapusan segala bentuk KKN yang menghambat kemajuan bangsa adalah harga mati yang tidak tertawar lagi. Seakan ada sebuah misi suci yang membuat seluruh elemen meneriakan “reformasi”.

Kini reformasi sudah berjalan sekitar 21 tahun, dibanding masa orde baru, perubahan sistem demokrasi di negeri ini memang cukup drastis.

Perubahan yang mencolok antara lain kebebasan berbicara, berpendapat, dan mendapatkan informasi sudah melampaui batas-batas yang diharapkan, semuanya bebas sensor.

Kini, setiap orang bebas berbicara atau mengungkapkan pendapatnya, bahkan mengkritik, menghujat, hingga mencerca orang nomor satu di negeri ini pun bukan hal yang tabu lagi.

Bandingkan dengan masa Pak Harto ketika berkuasa, tak ada satu pun yang berani terang-terangan mengkritik beliau. Isi media massa kala itu pun hampir seragam, tak ada yang terang-terangan mengkritisi kebijakan Pak Harto.

Siapa yang coba-coba nekad, bredel dan penjara akibatnya. Meski kebebasan berbicara atau berpendapat masih tetap dijamin, tapi selalu dibatasi oleh jargon kebebasan yang bertanggung jawab.

Jadi tak heran, seniman seperti Iwan Fals kala itu laku di pasaran karena lagu-lagunya penuh dengan sindiran, terutama sindiran untuk penguasa hingga wakil rakyat.

21 tahun semestinya waktu yang cukup bagi republik ini melakukan konsolidasi untuk membuat merah putih berada di atas singgasana, rakyat Indonesia yang hidup adil dan sejahtera.

Birokrasi yang terbebas dari segala tindakan busuk pejabat korup. Masyarakat hidup dalam keadaaan aman dan damai terlepas dari segala bentuk ketakutan dan intimidasi sosial.

Singkatnya, garuda berada pada koridor kebangsaan yang benar untuk mencapai mimpi berbangsa dan bernegara.

Namun nyatanya, bangsa ini ternyata masih bermimpi. Terlelap dalam kenyamanan status quo yang bangga dengan segala sumberdaya dan kebesaran potensinya.

Reformasi seolah jalan ditempat, bahkan hampir mundur kebelakang. Perubahan hanya cerita usang yang lekang dipusara zaman. Indonesia masih tenggelam dalam peta global.

Tingkat korupsi yang tinggi, jumlah penduduk miskin yang sangat tinggi. Akses pangan yang sulit dan harganya sungguh melangit. Pengangguran terbuka dan pemiskinan struktural masih menjerat kehidupan rakyat. Liberalisasi ekonomi terhadap sumberdaya yang menjadi hajat hidup orang banyak.

Kekayaan negeri ini hanya dinikmati kalangan atas, sedang kaum bawah semakin menderita sejadi-jadinya. Penegakan hukum yang tebang pilih seakan menyadarkan seluruh elemen bangsa ini bahwa Ibu pertiwi masih bersusah hati.

Korupsi Masih Merajalela
Korupsi masih merajalela di mana-mana, para pemimpin bangsa di masing-masing provinsi pun terlibat dalam kongkalikong untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan mengindahkan kesejahtraaan rakyat.

Kemana figur pemimpin bangsa kita ini, yang alih-alih saat berkampanye selalu menyuarakan tentang kesejahtraaan rakyat, tapi lihatlah, kenyataannya, bangsa ini masih jauh dari yang namanya kesejahteraan.

Masyarakat miskin bertambah, pengangguran di mana-mana, lapangan kerja sangat terbatas, kemerosotan ekonomi, kenaikan harga BBM yang semakin menyensarakan rakyat kecil dan kisruh dalam tubuh parpol-parpol tertentu yang semakin menambah kekacauan dalam negara kita tercinta ini.

Kasus demi kasus terkuak, namun penyelesaiannya hanya setengah-setengah dan akhirnya hilang di telan oleh kasus baru lagi, ada apa dengan bangsa ini?

Keberhasilan penangkapan para koruptor disebut bangsa ini sebagai sebuah pencapaian prestasi kepemimpinan yang luar biasa bagi bangsa ini, yg mana juga merupakan salah satu agenda reformasi yang di perjuangkan sejak saat itu.

Namun hingga saat ini, dengan adanya fakta-fakta kasus penangkapan para koruptor, mengindikasikan bahwa koruptor masih terpelihara hingga saat ini. Apa hal tersebut masih di bilang suatu pencapaian kinerja pemerintahan yang luar biasa?

Berbenah Diri
Bukan reformasi yang salah, tetapi kita sebagai anak zaman yang tidak mempersiapkan diri untuk membawa misi perubahan Indonesia yang lebih beradab.

Semangat globalisasi membuat kita terjebak dalam kehidupan yang penuh dengan rutinitas, sehingga mandul dalam megejawantahkan tujuan berbangsa dan bernegara.

Misi reformasi ternyata masih menjadi basa-basi. Semua masih terlena dalam romantisme reformasi semu.

Sebagai sebuah bangsa yang besar, Indonesia mengalami disfungsi akut yang membuatnya sulit bergerak menuntaskan amanat reformasi.

Dalam memasuki 15 tahun usia orde reformasi, sangat diperlukan refleksi diri untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja orde reformasi.

Kita harusnya lebih berbenah, cita-cita reformasi yang diperjuangkan sejak mei 1998 belumlah tercapai. Agenda reformasi, sudah banyak yang dilaksanakan, tetapi lebih banyak lagi yang belum berhasil dilaksanakan terutama mengurangi dan menghentikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang menjadi isu sentral untuk melengserkan Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru.

Walaupun masih banyak tantangan yang dihadapi, tetapi semangat dan harapan harus terus digelorokan kepada seluruh bangsa Indonesia.

Hari besok pasti lebih baik, jika ada kemauan, semangat dan bekerja keras untuk merubah nasib, karena pada akhirnya yang bisa merubah nasib bangsa Indonesia adalah seluruh bangsa Indonesia itu sendiri.

Artikel dimuat pada: 23 May 2013, di Rubrik Opini, Harian Analisa.

SUARA TOBA.