![]() |
Ilustrasi.(SuaraPekanbaru.com) |
Oleh: Suriono Brandoi Siringoringo
Hujan yang sedari tadi sore turun mulai berhenti. Jalanan pun mulai agak lengang. Hal inilah menjadi alasan Tika untuk tidak melanjutkan pekerjaannya mengamen.
Ia pun memutuskan untuk menggelar kardus sebagai tempat tidurnya di emperan toko. Ia membaringkan tubuhnya yang kurus.
Dingin yang menyergap setelah hujan sore itu, dan semilir angin yang berebut menusuk tulang, membuatnya meringkuk kedinginan.
Baju compang camping dan kumuh yang selalu menyelimuti badannya, tak mampu menghangatkan tubuh kecilnya.
Ia semakin kedinginan, giginya gemerutuk, kedua tangannya pun disilangkannya ke dada. Lumayan membantunya untuk mendapatkan sedikit rasa hangat.
Tika adalah seorang pengemis yang sering mangkal di lampu merah Jalan Setia Budi, Kota Medan, Sumatera Utara. Usianya masih 12 tahun, ayah dan ibunya sudah meninggal dan ia harus mencari nafkah untuk menghidupi dirinya.
Berbagai macam rasa telah ia rasakan, pahit, getir, luka, perih, miris, terhina, tanpa harapan, semua fase kehidupan yang tidak enak sudah ia lewati.
Segala kata yang menyakitkan, mungkin tak cukup untuk melukiskan penderitaan Tika sejak berada di jalanan. Jangankan sekolah, untuk makan dan bertahan hidup pun harus berjuang dalam keperihan.
Demi sesuap nasi, seringkali ia harus rela menerima caci maki yang luar biasa kasar. Masih banyak lagi hal suram buram yang ia alami sepanjang ia menggelandang di jalanan.
Di jalanan yang berlaku bukanlah hukum masyarakat yang penuh aturan dan tatakrama, tetapi hukum rimba yang mengandalkan kekuatan fisik.
Tak jauh beda dengan Tika, nasib Togar seorang anak jalanan yang sering mangkal di perempatan jalan sekitar Setia Budi Medan juga mengalami nasib kehidupan yang serba berbeda 180 derajat dari kehidupan yang berkecukupan.
Dua tahun yang lalu ia meninggalkan keluarganya di kampung halaman menuju ke kota. Dan dia ingin mencari pekerjaan di kota, berharap lebih baik hidupnya di kota.
Karena belum pernah sama sekali hidup di kota, dan tak pernah tahu masalah pekerjaan di kota. Dan ya inginkan hanya bekerja untuk mencari uang dan bisa membantu keluarganya yang ditinggalnya di kampung.
Setelah menempuh perjalanan menuju kota dengan menaiki sebuah bus, dan rasa sedih dan bahagia ada dalam dirinya.
Dia berpikir aku akan hidup di kota dan akan bahagia, dan aku akan menjadi orang yang akan terpandang nanti di kampungku.
Setelah sampai di kota di merasa kagum dengan suasana kota yang begitu berkilau di hiasi lampu jalan dan gedung-gedung yang begitu megah. Dan di balik kekaguman ini dia bingung akan tinggal dimana, lalu dia menyelusuri kota dengan berjalan kaki.
Mungkin cukup jauh jarak yang dia lalui namun belum ada tempat untuk dijadikan istirahat, dan akhirnya dia memutuskan tidur di sebuah warung yang kosong.
Setelah pagi tiba lalu dia terbangun dari tidurnya, dia melihat orang telah berlalu-lalang. Namun dia tidak menghiraukan orang yang berlalu-lalang itu. Dan singkat cerita lalu dia melangkahkan kakinya lagi untuk mencari tempat tinggal untuk tempat dia beristirahat.
Setelah berjalan satu harian dia menemukan sebuah rumah tempat kost-kosan, lalu dia bertanya berapa untuk ngekost disitu.
Dan setelah dia tahu harganya sangatlah mahal dan uang di pegangnya tidak cukup untuk membayar kost. Tapi anak muda ini tidak begitu mudah untuk menyerah dia coba mencari tempat yang lebih murah lagi, tapi dia tidak menemukan tempat yang seperti diinginkannya.
Waktu terus berjalan dia belum juga menemukan tempat tinggal, dia berpikir supaya bisa ngekost aku lebih baik cari kerja dulu.
Namun setiap dia melontarkan lamaran selalu yang ditanya lulusan apa? sementara dia tidak hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar.
Beberapa hari dia lalui dia hanya seorang pengangguran di kota dan tidak tahu apa yang mau dilakukannya.
Dan karena putus asa telah menyelimuti dalam dirinya dia sempat berpikir untuk pulang kampung, tapi bila dia pulang kampung dia berpikir lagi, kalau aku pulang rasanya malu dan tidak punya uang lagi.
Dan akhirnya tetap bertahan dalam kota metropolitan. Lalu dia menyelusuri lagi jalan yang telah ya lintasi beberapa hari itu, dan dia melihat sebuah perempatan lampu merah dan dia duduk disitu memandangi orang-orang.
Karena dorongan rasa lapar yang menyelimuti, ia mencoba mencari jalan untuk membeli makanan. Lalu timbul sebuah pemikiran dalam benaknya, untuk memperkenalkan diri kepada seorang anak yang berdiri di perempatan lampu merah.
Dia bertanya bagaimana mereka mendapatkan makan, lalu seseorang bilang "kami menjual suara disini bang." Tak mampu lagi menahan lapar, akhirnya dia meminta bergabung.
Semenjak itulah dia menjadi seorang pengamen jalanan dan sampai sekarang telah banyak melalui hari-harinya hidup di jalanan.
Dan rasanya dia begitu menikmati hidup walaupun hidup dijalanan itu sangat keras dan terhina. Namun suatu kebanggaan rasanya bisa membiayai hidupnya di kota metropolitan.
Cerita tentang Tika, Togar dan ribuan anak jalanan yang bernasib sama dengan mereka seolah-olah tidak ada habisnya. Anak-anak jalanan yang masih polos sudah merasakan susahnya dan kejamnya kehidupan di negara Indonesia ini.
Mereka lahir, bertumbuh dan menjamur di setiap sudut keramaian kota. Berbagai cara mereka lakukan untuk menarik perhatian pengguna jalan agar berbaik hati mengulurkan sekeping koin atau selembar uang kertas ke dalam kantong bekas permen yang disodorkan.
Baju compang camping dan kumuh selalu menyelimuti badan mereka yang masih kecil. Dalam benak anak-anak jalanan mungkin masih terlintas keinginan untuk sekolah. Keinginan mereka untuk merubah nasibnya.
Tapi keinginan itu hanya menjadi impian belaka yang entah kapan impian itu akan terwujud. Untuk bersekolah mungkin adalah prioritas kehidupan mereka yang terakhir, karena prioritas yang paling utama adalah mencari sesuap nasi.
Anak-anak jalanan sudah terbiasa untuk bekerja mulai dari mengamen di jalanan, mengemis, mengelap mobil, ojek payung, dan lain-lain.
Diantara mereka ada yang memang karena faktor ekonomi, putus sekolah atau persoalan rumah tangga serta kondisi orang tua. Tak sedikit dari mereka yang bertahan, karena faktor tersebut yang menyelimutinya.
Walau tak sedikit juga mereka yang berada di komunitas tersebut karena faktor kenakalan atau kurang mendapat perhatian keluarga ataupun lingkungan.
Apapun keadaannya, mereka adalah komunitas anak jalanan yang patut untuk direnungkan eksistensi dan kelayakannya.
Keberadaan Anak jalanan
Sampai saat ini masalah anak jalanan memang masih menjadi masalah yang krusial, oleh karena keberadaannya makin hari makin meningkat.
Begitu pelik persoalan anak jalanan dalam fajarnya usia yang belum layak menanggung beban kehidupan. Di usia yang begitu dini seharusnya anak-anak duduk di ruang kelas untuk mengecap pendidikan dari pada mengemis di jalanan!
Pada usia anak untuk mengembangkan kepribadiannya, dia membutuhkan waktu bermain bersama teman-temannya namun waktu bermain mereka kemudian diisi oleh permainan teka-teki kehidupan.
Di sisi lain label anak jalanan tidak jarang menggoncang psikis mereka dalam berinteraksi bersama teman-temannya, ejekan-ejekan pun terlontar menampar mental si anak.
Suasana belajar-mengajar juga menjadi permasalahan lain yang hinggap apabila anak jalanan menceburkan diri dalam pendidikan formal.
Sementara belum ada satu pun pemerintah kota yang mempunyai kebijakan yang eksplisit untuk penanganan masalah anak jalanan. Bentuk penanganan yang lebih banyak dilakukan oleh pihak pemerintah adalah bentuk penanganan panti.
Padahal pembinaan di panti-panti asuhan dan penangganan pendidikan yang dilakukan selama ini masih dianggap konvensional. Penanganan seperti ini justru membuat anak menjadi tidak kerasan, banyak yang kabur dari panti penitipan karena anak-anak tersebut sudah lekat dengan budaya jalanan.
Metode-metode yang digunakan seringkali tidak mampu membuat mereka betah serta antusias menerima materi sekolah sehingga kejenuhan itu membuat mereka tidak bertahan di dunia pendidikan.
Apa jadinya masa depan mereka sebagai generasi penerus bangsa dan negara apabila mereka tidak mendapatkan pendidikan yang layak.?
Jika ditelisik lebih dalam, persoalan anak jalanan yang lazim kita temui di kota-kota besar, salah satu penyebabnya karena efek dari ketidakmerataan ekonomi.
Ketidakmerataan ekonomi inilah menjadi alasan utama penduduk yang berada di desa berbondong-bondong mengadu nasib di kota dengan harapan bisa meraih masa depan ekonomi yang lebih layak.
Maka raksasa urbanisasi mulai melangkahkan kaki menuju lapangan metropolitan baik secara legal maupun ilegal.
Hal ini mencerminkan bahwa persoalan anak jalanan merupakan persoalan lintas wilayah administrasif. Ketika tiba di kota, kenyataan berkata lain, ternyata di kota-kota besar persaingan ekonomi yang sengit disandingkan dengan ketersediaan lapangan kerja yang minim bersama-sama merenggut impian penghidupan yang layak bagi para urban.
Tidak hanya impian yang terkubur, pada saat itu juga para urban dipaksa bangun dan menatap nasib, dilumpuhkan oleh kelaparan dan ketakutan tentang hari esok.
Keterhimpitan-keterhimpitan itu membuat mereka tidak punya pilihan. Maka untuk menyambung kehidupan mereka akhirnya menjadikan jalanan sebagai sumber penghidupan dengan beragam kegiatan baik itu mengemis, mengamen, membersihkan kaca mobil, menjual bunga, menjual rokok asongan, dan lain-lain.
Anak Jalanan suatu Kejahatan?
Ironis memang, dalam Pasal 34 Undang-undang Dasar 1945 disebutkan, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.”
Berdasarkan pada pasal ini maka anak-anak jalanan merupakan tanggung jawab negara. Namun fakta membuktikan bahwa keberadaan anak-anak jalanan justru mengalami peningkatan secara kuantitas di daerah-daerah perkotaan dan daerah-daerah sub urban.
Kalau demikian kenyataannya, adakah maksud Pasal 34: 1 UUD 1945, hendak dibaca: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar “dipelihara” oleh negara. “Dipelihara” dalam tanda kutip, maksudnya selalu ada dan “akan dipelihara” keadaan yang demikian di negeri ini.?
Parahnya, sekarang anak jalanan sudah dikategorikan dengan orang yang jahat (kriminal) karena Satpol PP yang selalu mengejar anak jalanan dan menangkap mereka dengan cara kekerasan.
Bayangkan untuk menangkap anak jalanan kini Satpol PP telah dipersenjatai oleh negara. Sungguh tidak manusiawi lagi yang kita lihat, dan masyarakat semakin berpandangan negatif tentang anak jalanan bila Satpol PP bertindak seperti ini.
Apakah memang anak jalanan itu suatu kejahatan sampai mereka tidak pernah dianggap sebagai manusia? Sapaan akrab yang selalu di lontarkan orang-orang adalah "Sampah Masyarakat." Sehingga orang-orang selalu semena-mena terhadap anak jalanan.
Padahal jika kita mau membuka hati sedikit saja, mereka sebagai anak jalanan ingin diakui, dan mereka bukanlah sampah tapi mereka ingin menjadi seperti masyarakat lainnya, hanya keadaan yang memaksa mereka untuk menjadi anak jalanan. Lalu masih pantaskah kita menghina mereka hanya karena tidakberadaan mereka?.
Hujatan, teror, intimidasi, dan kekerasan dan pencitraan yang buruk terhadap para anak jalanan tak semestinya mereka diperlakukan seperti itu.
Mereka juga saudara sebangsa dan setanah air kita, jangan gampang melakukan penghinaan dan penganiayaan terhadap para anak jalanan yang sedang mencari peruntungan dan perbaikan nasib keluarganya.
Jika tak sanggup memberikan jaminan penghidupan yang layak. Jika memang merasa terganggu akan kehadiran mereka. Kita harusnya mencarikan solusi mata pencaharian yang lebih baik kepada mereka.
Jangan hanya tahunya melakukan penggusuran, atau pemaksaan kehendak menertibkan para anak jalanan.
Menghapus Stigmatisasi Anak Jalanan
Masalah anak jalanan ini tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah dalam memberantasnya. Sebagai bagian dari realitas sosial, dukungan masyarakat juga sangat dibutuhkan disini.
Mahasiswa misalnya sebagai generasi muda terdidik dapat menjadi salah satu komponen yang dapat mengupayakan penghapusan fenomena anak jalanan ini.
Dengan kemampuan intelektual yang telah terasah, mahasiswa dapat mengaplikasikan ilmu dan keterampilannya untuk memberikan pelatihan dan pendidikan kepada anak jalanan ini.
Tidak ada alasan bagi mahasiswa untuk mengabaikan tugas ini, karena mahasiswa juga memiliki tanggungjawab sosial bagi masyarakatnya sebagaimana yang tercantum dalam salah satu point dalam Tri Dharma dari perguruan tinggi, yaitu bakti kepada masyarakat.
Menghapus stigmatisasi anak jalanan sebagai ‘orang buangan’ menjadi sangat penting. Patut disadari bahwa anak-anak jalanan adalah korbannya korban.
Kehidupan anak-anak begitu berbahaya dari segala ancaman tindakan kriminal, sedangkan orang-orang yang berada di jalan tak begitu mempedulikan keberadaan mereka.
Satu-satunya jalan terbaik yaitu bagaimana mereka meninggalkan jalanan atau hidup seperti anak-anak pada umumnya. Tentu upaya semacam ini tidak mudah, karena anak-anak jalanan justru kebanyakan lebih suka turun ke jalan dari pada mereka bermain atau sekolah formal yang seharusnya mereka lakukan.
Untuk itu, kita perlu mencari jalan keluar untuk menangani anak jalanan yang sering kali diperlakukan tidak manusiawi dari oknum-oknum. Peristiwa tragis bagi anak jalanan tersebut menambah tekanan beban mental dan kejiwaannya.
Perlu ditinjau kembali, difikirkan dan dievaluasi bahwa pengertian pembinaan itu tidak cukup satu hari, satu minggu, atau satu tahun, bahwa pembinaan tidak cukup dengan hanya memberikan sesuatu yang bersifat materi. Pembinaan perlu berdasar dari akar permasalahannya, serta penanganan yang kontinue dan konsisten.
Akar permasalahan tersebut dapat dilihat dari latar belakang dan status sosial anak jalanan yang pada umumnya berasal dari kelas ekonomi lemah. Dan dilingkungannya sendiri terdapat penindasan sehingga mereka tidak dapat berkembang seperti anak pada umumnya.
Oleh karena itu, program jangka panjang terhadap anak jalanan tidak dapat dilepaskan dari upaya mengatasi masalah kemiskinan yang melingkupi kehidupan anak jalanan.
Sehingga untuk menanggulangi masalah anak-anak jalanan perlu memahami kondisi dan tipologi mereka.
Kesalahan utama kita dalam melihat anak-anak jalanan adalah dengan menyeragamkan setiap permasalah yang dihadapi oleh anak-anak jalanan. Sudut pandang seperti ini kurang tepat untuk memberikan solusi terhadap beraneka ragam anak-anak bahkan bisa gagal total niat baik semula.
Untuk memahami anak-anak jalanan tidak cukup diketahui secara teoritis atau melalui buku saja. Melainkan kita perlu terjun langsung ke lapangan dengan mengamati setiap tingkah polah yang dilakukan anak-anak di jalanan.
Sehingga kita mengetahui betul tipologi, pola kehidupan, aktivitas, dan lokasi-lokasi anak-anak jalanan baik untuk mengamen atau tempat sekadar berteduh bersama teman-temannya.
Memanusiakan Manusia (Anak Jalanan)
Pendidikan merupakan upaya yang terbaik untuk menanamkan ketidaktahuan yang mereka hadapi selama ini. Di dalam proses pendidikan yang mendapat perhatian utama adalah dengan apa yang disebut humanisasi, yaitu memanusiakan manusia (anak jalanan).
Nah dalam hal ini, suasana belajar-mengajar yang seringkali menjadi permasalahan yang hinggap apabila anak jalanan menceburkan diri dalam pendidikan formal dan metode-metode yang digunakan seringkali tidak mampu membuat mereka betah harus segera diubah dan dicari solusinya agar antusias mereka dalam menerima materi sekolah meningkat dan anak-anak jalanan bisa bertahan di dunia pendidikan.
Kemudian memberikan pembekalan ketrampilan sebagai media untuk mencari uang. Pembekalan ketrampilan merupakan prioritas yang sangat berperan untuk menggiring mereka keluar dari jalanan.
Ketrampilan yang dimiliki anak-anak akan membantu setelah mereka keluar dari kehidupan jalanan, atau setidaknya mereka bisa menciptakan lapangan kerja sendiri. Dan saya rasa, itu adalah solusi terbaik buat anak-anak jalanan bahkan untuk masyarakat sekitar.
Untuk itu sudah saatnya pemerintah serta masyarakat melipatgandakan upaya untuk menanggulangi persoalan anak jalanan di negeri ini.
Anak jalanan di sudut-sudut lampu merah hanyalah satu potret buram di antara ribuan bahkan jutaan kisah orang-orang miskin di negeri ini.
Sementara yang perlu diingat: “Keteraturan dalam sebuah bangsa bukan dilihat dari jumlah milyuner yang dimiliki, tetapi dari ketiadaan bencana kelaparan di masyarakatnya,” demikian Mahatma Ghandhi.
Maka, tidak ada kata lain selain menyelamatkan mereka dari jurang keterbelakangan.***
*) Diikutsertakan pada Lomba Karya Tulis Dalam Rangka Hari Pers Nasional 2012 dan HUT ke-8 Madya Insani. Dan tulisan ini berhasil meraih juara harapan 1.
SUARA TOBA.