DPRD Samosir saat gelar RDP dengan masyarakat adat di Kabupaten Samosir. |
Samosir(ST)
Enam komunitas masyarakat adat di Kabupaten Samosir sepakat untuk menolak SK 579 Kemenhut. Menurut mereka bahwa penunjukan kawasan hutan sama sekali tidak melibatkan masyarakat. Oleh karena itu, mereka sepakat untuk menyurati menteri kehutanan sebagai bentuk penolakan agar setidaknya SK 579 Kemenhut tersebut direvisi.
Selain menolak atau setidaknya merevisi SK 579, masyarakat adat Siogung-Ogung dan Tanjung Bunga misalnya juga meminta agar DPRD dan pemerintah kabupaten juga menolak Program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) di Samosir.
"Kami meminta agar DPRD Samosir dan Pemkab juga menolak TORA karena tidak cocok bagi masyarakat adat," kata Juru Bicara Masyarakat Siogungogung, Hotdon Naibaho.
Hal ini disampaikan saat DPRD Samosir menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) bersama komunitas masyarakat adat di Samosir, Senin, 13 Agustus 2018, di ruang rapat Komisi I DPRD Kabupaten Samosir.
Adapun komunitas masyarakat yang diundang adalah perwakilan dari Masyarakat Adat Golat Naibaho dan Golat Simbolon Desa Sijambur Kecamatan Ronggur Nihuta, Masyarakat Adat Desa Tanjung Bunga Kecamatan Pangururan, Himpunan Turpuk Sidauruk dan Turpuk Sihole Desa Aek Sipitudai Kecamatan Sianjur Mula-Mula, perwakilan Masyarakat Kelurahan Siogung-Ogung Kecamatan Pangururan, Masyarakat Adat Sitonggi-Tonggi, dan Masyarakat Adat Dosroha Kecamatan Simanindo.
Rapat yang dipimpin Nasib Simbolon, Ketua komisi II DPRD, menjelaskan alasan diadakan RDP ini adalah untuk mendapatkan saran atau masukan dari komunitas adat yang selama ini sudah menyampaikan tuntutannya kepada DPRD.
Dalam RDP ini masing-masing komunitas adat diminta memberikan tanggapan atas klaim kawasan hutan negara di wilayah adatnya sesuai SK 579/Menhut–II/2014 tentang Kawasan Hutan di Sumatera Utara.
Selain itu, perwakilan masyarakat adat juga diminta memberi masukan terkait langkah-langkah penyelesaian konflik apa yang akan ditempuh ke depan agar wilayah adat mereka segera kembali ke masyarakat.
Perwakilan KSPPM saat menyampaikan sikap turut menolak SK 579 Kemenhut. |
Sementara itu, menurut salah satu anggota KSPPM, Delima Silalahi menyampaikan bahwa klaim Kawasan Hutan Negara di Kabupaten Samosir belakangan ini melahirkan kecemasan di Kabupaten Samosir.
"Karenanya, KSPPM bersama masyarakat adat meminta DPRD agar segera menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dan hak-haknya atas tanah dan sumber daya alam. Selain itu juga perlu menanyakan langsung ke Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) di Provinsi terkait dengan hasil tata batas yang sudah dilakukan selama ini," kata Delima Silalahi.
Dilanjutkannya, hal ini dilakukan agar masyarakat di Kabupaten Samosir mengetahui dengan jelas apakah wilayah adat mereka sudah dikeluarkan dari kawasan hutan.
"Sangat disayangkan memang, BPKH melakukan proses tata batas tanpa sepengetahuan masyarakat adat. Proses yang tidak transparan harus ditolak, apalagi jika tidak mengakomodir hak-hak masyarakat atas tanah adatnya," jelas Delima.
Menanggapi masukan dari peserta RDP, jajaran pemkab Samosir menjelaskan hal-hal yang sudah dilakukan oleh pemerintah selama ini terkait polemik SK 579/Menhut –II/2014.
"Pemerintah dan DPRD akan bersama-sama mendiskusikan penyusunan Perda yang dibutuhkan tersebut, dengan catatan masyarakat adat harus memenuhi syarat-syarat yang diamanatkan undang-undang," kata Asisten I, Mangihut Sinaga.
Anggota Komisi II DPRD, Nasib Simbolon juga menjelaskan bahwa Program TORA tidak perlu ditolak, bagi yang ingin mengakses TORA bisa menggunakan mekanisme tersebut. "Mekanisme yang lain silahkan juga dilakukan sehingga tujuan bersama mengembalikan tanah masyarakat bisa tercapai dengan berbagai cara yang ada," kata Nasib Simbolon.
Sementara itu, Ketua DPRD Samosir, Rismawati Simarmata menjelaskan bahwa saat ini DPRD Samosir sedang menyusun Ranperda terkait tata kelola tanah ulayat di Kabupaten Samosir. Ranperda tersebut sudah menyinggung sedikit tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
“Semoga perda tersebut bisa mengakomodir apa yang menjadi tuntutan masyarakat, namun saat ini masih dalam tahap penyelesaian setelah beberapa kali dibahas bersama tim pembuat naskah akademiknya," jelasnya.
Dia juga mengatakan jika dibutuhkan perda lain yang khusus untuk Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, Komisi II akan berkoordinasi dengan pemkab Samosir agar segera mengagendakannya.
DPRD Kabupaten Samosir juga berjanji untuk segera mengagendakan pertemuan dengan BPKH Provinsi terkait hasil akhir tata batas yang sudah dilakukan dan akan mengajak perwakilan masyarakat adat untuk bersama-sama bertemu dengan BPKH.
Selain dihadiri pimpinan DPRD Rismawati Simarmata, RDP tersebut juga dihadiri wakil ketua DPRD Samosir, Jonner Simbolon, Megianto Sinaga, Bolusson Pasaribu dan yang lainnya, serta dihadiri jajaran Pemkab Samosir antara lain Mangihut Sinaga, Ass I Kabupaten Samosir, Saul Situmorang, Ass II, dan Lamhot Nainggolan, Kabag Hukum Pemkab Samosir.
SUARA TOBA/SBS.